Berwisata ke destinasi
yang penduduknya dominan non muslim, urusan makan dan shalat kadang jadi soal
bagi wisatawan muslim. Maklum perkara mencari makanan halal untuk isi perut dan
masjid untuk ibadah shalat berjamaah, jelas tak semudah dibanding berada di
destinasi mayoritas muslim.
Hal itu pun Siarmasjid alami di Humbang Hasundutan
(Humbahas), sebuah kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara
(Taput) di Sumatera Utara (Sumut), saat meliput kegiatan Lawatan Sejarah Daerah
(LASEDA) yang digelar Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh selama 4 hari,
22-25 Mei 2016 lalu.
Sewaktu berkunjung ke
beberapa obyek wisatanya, jangankan masjid raya, mushola saja sulit ditemukan.
Untungnya di Dolok Sanggul, Ibukota Humbahas ada sebuah masjid. Namanya Masjid
Raya Dolok Sanggul, satu-satunya masjid raya di kabupaten yang belum lama
terbentuk ini.
Dolok Sanggul sendiri
yang berhawa sejuk berada di atas Bukit Barisan, jaraknya sekitar 45 menit dari
Bandara Silangit di Siborong-Borong, Taput.
Bandara tersebut resmi beroperasi
tanggal 22 Maret 2016 lalu untuk mempermudah akses wisatawan menuju Danau Toba,
khususnya ke Sipinsur dan Lembah Bakkara yang masuk wilayah Humbahas.
Sesuai namanya, masjid
tersebut berada di tengah Kota Dolok Sanggul, tepatnya di tepi Jalan Raya
Siliwangi. Letaknya sekitar 10 meter dari Hotel & Resto Bukittinggi, tempat
penulis bermalam selama berada di sana.
Kendati namanya masjid
raya (artinya masjid terbesar sekabupaten), namun dari ukurannya masjid ini
tidak sebesar masjid raya umumnya. Namun keberadaan masjid bertingkat satu ini
cukup mencolok, terutama dari bentuknya yang amat berbeda dengan sejumlah bangunan
lain di kota itu dengan warnanya yang hijau terang, meneduhkan mata jiwa.
Apalagi posisinya berada
di tepi jalan raya yang kerap dilintasi para pedagang dan pelintas dari
kabupaten lain termasuk dari Medan, sehingga mudah sekali dilihat.
Keberadaan masjid ini
bukan hanya dibutuhkan bagi sekitar 6.000 jiwa penduduk Dolok Sanggul yang
muslim, pun bagi para pedagang dan pelintas dari berbagai daerah, terlebih wisatawan
yang tengah berwisata di Humbahas.
Sewaktu pertama kali
penulis bertandang ke masjid ini, ada kagum dan syukur merasuk kalbu. Mungkin
kedua rasa itu hadir lantaran tak menyangka ada masjid lumayan besar dan gagah
di tengah kota berpenduduk mayoritas non muslim ini.
Arsitektur masjid ini tak
begitu khas, hampir seperti kebanyakan masjid modern lainnya.
Bagian atapnya
ada 3 kubah berwarna putih besi. Kubah paling besar berada di atap bangunan
utama, di tengah-tengah. Dua lagi di bagian kiri dan di atas sebuah menara yang
sebagian bangunannya menempel dengan bangunan utama masjid.
Sebelum memasuki halaman masjid
ini, ada gerbang berbentuk gapura kotak polos tanpa tulisan nama masjid. Gapura
itu berwarna hijau senada dengan warna dominan masjid dengan garis tepi (list)
kuning dan hitam pada bagian bawah.
Di halaman masjid yang
tidak begitu luas, terlihat beberapa warga dan pengurus masjid tengah menanam
bermacam tanaman hias di tepian.
Di halaman berlantai
semen itu ada plang putih dengan tulisan hitam yang cukup menarik perhatian.
Tulisannya berbunyi mengingatkan: “Pastikan Anda Telah Mengkonsumsi yang
Halal”.
Hmmm.., dalam hati
berguman, tentu tulisan itu ditujukan buat
jamaah muslim agar senantiasa berhati-hati saat memilih menu makan selama
berada di kota ini.
Di tempat lain masih di
halaman masjid juga, ada plang hijau bertuliskan putih dengan tulisan berbunyi:
“Dilarang Meletakkan Sandal, Slop, Sepatu, Terompa di Tangga. Kenaziran Masjid
Raya Dolok Sanggul”.
Di samping belakang
masjid dekat dengan tempat wudhu dan toilet yang kurang terawat, ada deretan
bangunan bercat putih seperti ruang-ruang kelas berlantai 2 yang juga nampak tak
terawat.
Di depan jendela bagian
atas salah satu ruang kelas tersebut, terpasang bingkai bertuliskan Mutiara
Kata berbunyi: “Membaca adalah suatu sarana untuk mendapatkan ilmu. Dengan
membaca cakrawala dan paradigm berfikir seseorang lebih luas dan maju. Khazanah
ilmu akan dipahami dan berita dunia akan di ketahui. Karena membaca adalah
jendela ilmu”.
Usai mengambil wudhu,
penulis yang hendak Shalat Zuhur siang itu bersama Miftah, salah seorang staf
BPNB Aceh langsung masuk ke ruang lantai dasar masjid itu yang berpondasi 4
pilar berwarna senada dengan dinding masjid, hijau terang dan tua dengan list
warna kuning.
Tak ada orang satupun di
ruang itu. Karpet sajadahnya pun hanya terbentang dua baris dan kondisi
sajadahnya pun terlihat sudah usang.
Di bagian depan ruang itu ada ruang khusus
imam dan penceramah, lengkap dengan podium mimbar kayu berwarna coklat.
Di
belakang mimbar ada setumpuk gulungan karpet sajadah dan salon sound system. Sepintas
terkesan ruangan itu tak seelok bangunan masjidnya.
Keesokan harinya, saat
penulis hendak Shalat Asyar, baru tahu kalau ruang utama shalat di masjid itu
ada di lantai satu, bukan di lantai dasar seperti pertama kali penulis gunakan
untuk shalat.
Untuk sampai ruang utama
masjid ini, melewati undakan tangga dengan pagar dari besi berwarna putih.
Pintu
ruang utamanya terbuat dari kayu berwarna coklat bagian atapnya melengkung
setengah lingkaran. Begitupun dengan bentuk dan list jendela kacanya.
Di bagian atas jendela ada 4 jendela kecil
dari kaca patri dengan tulisan Arab berbunyi Allah dan Muhammad.
Interior
Ruang Utama
Setibanya di dalam,
penulis baru terkagum-kagum. Suasana interiornya lebih tertata dan bersih.
Karpet sajadah berwarna merah terhampar di seluruh lantainya.
Ruangan ini
terbagi dua, di bagian depan khusus untuk jamaah laki-laki, sedangkan di
belakang dengan pembatas gorden kain untuk jamaah perempuan. Di ruang perempuan terbagi dua lagi, bawah dan bagian atas
yang dibatasi pagar besi putih.
Di tengah ruangan utama beratap putih ini,
ada kubah bagian dalam yang berlukis langit berwana biru dengan awan putih
yang berarak-arak.
Di bagian bawahnya ada kaligrafi Islam bertuliskan deretan asma'ul
husna atau nama-nama Allah yang baik dan indah. Di tengah kubah, menggantung lampu hias kristal berwarna putih gading, memperelok ruangan ini.
Di ruangan ini juga
terdapat ruang khusus imam dan penceramah dengan podium mimbar dari kayu
berukir berwarna coklat tua. Di samping kiri mimbar ada sajadah khusus imam
berlapis dua yang terhampar di atas karpet juga berwarna merah.
Dari 4 jendela kaca dalam
ruangan utama ini, dapat terlihat dengan jelas Jalan Raya Siliwangi dan deretan
bangunan ruko, rumah makan, losmen, dan lainnya di kiri-kanannya.
Dekat pintu keluar
ruangan dalam ini, ada kotak infaq terbuat dari besi dengan 4 penyangga yang
cukup tinggi berwarna hijau.
Puas mengabadikan bagian
dalam masjid, penulis melanjutkan pengambilan gambar dari luar. Di dinding luar
masjid bagian atas yang menghadap ke jalan raya, tertera Surat Al-Baqarah.
Sedangkan di bawahnya ada 3 surat Al-Qur’an lagi yakni Surat Iqra, Al-Fatihah,
dan Surat Annas dengan tulisan berwarna hitam masing-masing di beri kotak
dengan warna dasar hijau terang dan list warna kuning.
Biar bisa mengabadikan
masjid ini secara keseluruhan, penulis menyeberang jalan. Dari depan Rumah
Makan Islam Suka Raya yang menjual Mie Ayam Halal, baru terlihat keanggunan,
keteduhan sekaligus kegagahan masjid ini. Apalagi siang itu langitnya biru bersih hingga menambah pesonanya sekalipun bentangan kabel-kabel listrik
sedikit menggangu pemandangan. Hati pun kembali berdecak kagum dan mengucap syukur.
Selesai memotret dan
hendak balik ke hotel, beberapa peserta LASEDA 2016 yakni para pelajar SMA dan
guru pendamping dari Aceh tepatnya perwakilan dari Subulussalam, Bireuen, Banda
Aceh, dan Sabang serta dari Sumut, tepatnya dari Tanjung Balai terlihat
memasuki Masjid Raya Dolok Sanggul untuk menunaikan Shalat Asyar.
“Alhamdulillah,” ucap
hati. Kenapa? Karena mereka pun tidak meninggalkan kewajibannya sebagai muslim,
di kala berwisata dan menjalani kegiatan dunawi yang serba menjebak dan menggoda.
Naskah
& foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)
Sampai detik ini belum ada orang meninggal setelah mengkonsumsi daging anjing atau babi.
BalasHapusFakta sebaliknya menunjukkan adalah bangsa Eropalah, yang notabene pemakan daging babi, yang menjadi pelopor kehidupan modern lengkap dengan ilmu pengetahuan.
Fakta lain juga menunjukkan bahwa bangsa Eropalah, yang notabene pemakan daging babi, yang membawa suku Batak keluar dari gelapnya dunia animisme serta dinamisme menuju pada kekristenan.