Di
awal tahun 2016 ini, sebanyak 100 orang
Papua pedalaman yang sudah masuk Islam atau mualaf dikhitan (disunat).
Keseratus mualaf itu terdiri atas 20
mualaf dewasa dan 80 mualaf usia anak-anak dan remaja.
Khitanan
yang digelar Islamic Medical Service
(IMS) bekerjasama dengan Badan Pengelola Zakat, Infaq, Sedekah Bank
Mandiri (BPZIS Mandiri) ini berlangsung di Madrasah Ibtidaiyah Hidayatullah
Sorong, Papua selama 2 hari, Sabtu dan Ahad (16-17/1/2016). Selain sunatan massal,
kegiatan sosial ini juga memberikan penyuluhan kesehatan dan pengobatan.
Ketua
Tim IMS Dokter Syaifuddin Hamid mengatakan kendati bukan liburan sekolah, namun
antusias peserta dan orangtua untuk mengkhitankan anak-anaknya cukup tinggi. “Padahal
tempat tinggal sebagian besar peserta jaraknya lumayan jauh,” kata Syaifuddin.
Sebelum
khitanan, tim medis IMS tidak lupa memberi arahan kepada seluruh peserta tentang
manfaat khitan serta perawatan kesehatan pascakhitan agar tidak terjadi infeksi.
Saat prosesi khitan berlangsung, sesekali terdengar suara tangis terutama anak-anak karena takut dan menahan sakit. Usai disunat secara cuma-cuma, setiap peserta mendapatkan bingkisan berupa alat shalat dan uang saku.
Saat prosesi khitan berlangsung, sesekali terdengar suara tangis terutama anak-anak karena takut dan menahan sakit. Usai disunat secara cuma-cuma, setiap peserta mendapatkan bingkisan berupa alat shalat dan uang saku.
Thomas
(40), seorang mualaf penerima manfaat khitan massal bersyukur dengan kegiatan
sosial ini. "Alhamdulillah ada saudara kami dari jauh, meskipun belum pernah berjumpa dengan kami tapi peduli dengan kesehatan kami di sini," aku Thomas dengan nada senang.
IMS merupakan lembaga kesehatan Nasional milik
Ormas Islam Hidayatullah. Setelah menggelar khitanan massal gratis di Papua, dalam waktu dekat juga akan melakukan hal serupa di Kepulauan Mentawai, Sumatera
Barat (Sumbar).
Humas
IMS Imron Faizin dalam keterangannya menjelaskan IMS saat ini memang
tengah fokus pada program khitanan massal mualaf. “Banyak para mualaf dhuafa
yang tersebar di Indonesia yang belum dikhitan. Setelah masuk Islam, tentu
khitan adalah hal yang wajib dilakukan. Sementara belum banyak lembaga sosial
yang menggarap program khitan untuk para mualaf ini,” ungkap Imron.
Tahun lalu, tepatnya pada 28 Juni 2015, IMS melakukan sunatan massal di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumbar, tepatnya di Klinik IMS Mentawai yang berlokasi di komplek Islamic Center Syekh Shaleh ar-Rajh.
Pesertanya sebanyak 158 orang yang terdiri dari 100 orang mualaf dewasa dan 58 orang anak-anak. Ketika itu peserta khitanan massal paling muda berusia lima tahun sedangkan yang tertua 65 tahun.
Setelah dikhitan, para peserta mendapatkan bingkisan berupa peralatan shalat dan uang saku. Data IMS menyebut sejak tahun 2014 telah mengkhitan para mualaf dan dhuafa Mentawai sekitar 500 orang.
Tahun lalu, tepatnya pada 28 Juni 2015, IMS melakukan sunatan massal di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumbar, tepatnya di Klinik IMS Mentawai yang berlokasi di komplek Islamic Center Syekh Shaleh ar-Rajh.
Pesertanya sebanyak 158 orang yang terdiri dari 100 orang mualaf dewasa dan 58 orang anak-anak. Ketika itu peserta khitanan massal paling muda berusia lima tahun sedangkan yang tertua 65 tahun.
Setelah dikhitan, para peserta mendapatkan bingkisan berupa peralatan shalat dan uang saku. Data IMS menyebut sejak tahun 2014 telah mengkhitan para mualaf dan dhuafa Mentawai sekitar 500 orang.
Berdasarkan
catatan siarmasjid, khitanan massal para
mualaf di Papua sudah berlangsung cukup lama. Sebelumnya pada tahun 2010 Al
Faatih Kaaffah Nusantara (AFKN)), sebuah lembaga sosial dan dakwah yang peduli terhadap kegiatan dakwah
di daerah pedalaman, terutama di Bumi Nuu Waar (sebutan lain dari Papua) telah
menyelenggarakan khitanan massal bagi 7.500 umat muslim dan pengobatan dengan
cara pengobatan ala Nabi atau Tibbunnabawi.
Masjid
Patimburak
Sejarah mencatat, Islam masuk pertama kali ke Papua di bagian baratnya, tepatnya di Kabupaten Fak Fak. Islam masuk ke tanah Cendrawasih ini sekitar tahun 1520-an lewat daerah pesisir yang dibawa oleh para pedang Islam di bawah pengaruh Kesultanan Tidore.
Bukti sejarahnya, di kabupaten seluas 38.474 Km2 terdapat Masjid Patimburak yang masih berdiri kokoh dan digunakan untuk beribadah.
Sejarah mencatat, Islam masuk pertama kali ke Papua di bagian baratnya, tepatnya di Kabupaten Fak Fak. Islam masuk ke tanah Cendrawasih ini sekitar tahun 1520-an lewat daerah pesisir yang dibawa oleh para pedang Islam di bawah pengaruh Kesultanan Tidore.
Bukti sejarahnya, di kabupaten seluas 38.474 Km2 terdapat Masjid Patimburak yang masih berdiri kokoh dan digunakan untuk beribadah.
Sebenarnya nama
masjid yang dibangun pada tahun 1870 oleh imam pribumi bernama Abuhari Kilian ini
bernama Masjid Al-Yassin. Namun belakangan lebih dikenal sebagai Masjid Patimburak sesuai loaksinya yang berada di Patimburak,
pesisir Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat.
Keistimewaan
masjid berukuran tak lebih dari 100 meter ini arsitekturnya cukup unik, perpaduan antara sentuhan Nusantara dan Eropa. Di dalamnya, ada empat tiang penyangga, seperti tiang soko guru pada bangunan masjid di Pulau Jawa yang didirikan para wali. Dari luar, bentuk bangunannya seperti
bangunan gereja. Kubahnya juga mirip kubah gereja di Eropa.
Untuk menuju
masjid ini dari Fakfak ke Kokas yang berjarak sekitar 50 Km dapat
ditempuh sekitar 2 jam dengan angkutan umum luar kota dari Terminal Kota Fakfak. Kondisi jalan yang dilalui berkelok-kelok namun berpemandangan indah dengan udara sejuk khas pegunungan yang bikin segar.
Tiba di Teluk Kokas, perjalanan dilanjutkan dengan perahu sewaan longboat selama 1 jam melewati rangkaian pulau karang.
Naskah: Adji Kurniawan (kembaratropis@yahoo.com) & IMS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar