berita masjid masjid raya masjid unik masjid bersejarah surau ceramah profil

Minggu, 29 Mei 2016

Masjid Raya Dolok Sanggul, Hijaunya Teduhkan Mata Jiwa


Berwisata ke destinasi yang penduduknya dominan non muslim, urusan makan dan shalat kadang jadi soal bagi wisatawan muslim. Maklum perkara mencari makanan halal untuk isi perut dan masjid untuk ibadah shalat berjamaah, jelas tak semudah dibanding berada di destinasi mayoritas muslim.

Hal itu pun Siarmasjid alami di Humbang Hasundutan (Humbahas), sebuah kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara (Taput) di Sumatera Utara (Sumut), saat meliput kegiatan Lawatan Sejarah Daerah (LASEDA) yang digelar Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh selama 4 hari, 22-25 Mei 2016 lalu.

Sewaktu berkunjung ke beberapa obyek wisatanya, jangankan masjid raya, mushola saja sulit ditemukan.
Untungnya di Dolok Sanggul, Ibukota Humbahas ada sebuah masjid. Namanya Masjid Raya Dolok Sanggul, satu-satunya masjid raya di kabupaten yang belum lama terbentuk ini.

Dolok Sanggul sendiri yang berhawa sejuk berada di atas Bukit Barisan, jaraknya sekitar 45 menit dari Bandara Silangit di Siborong-Borong, Taput.
Bandara tersebut resmi beroperasi tanggal 22 Maret 2016 lalu untuk mempermudah akses wisatawan menuju Danau Toba, khususnya ke Sipinsur dan Lembah Bakkara yang masuk wilayah Humbahas.

Sesuai namanya, masjid tersebut berada di tengah Kota Dolok Sanggul, tepatnya di tepi Jalan Raya Siliwangi. Letaknya sekitar 10 meter dari Hotel & Resto Bukittinggi, tempat penulis bermalam selama berada di sana.

Kendati namanya masjid raya (artinya masjid terbesar sekabupaten), namun dari ukurannya masjid ini tidak sebesar masjid raya umumnya. Namun keberadaan masjid bertingkat satu ini cukup mencolok, terutama dari bentuknya yang amat berbeda dengan sejumlah bangunan lain di kota itu dengan warnanya yang hijau terang, meneduhkan mata jiwa.

Apalagi posisinya berada di tepi jalan raya yang kerap dilintasi para pedagang dan pelintas dari kabupaten lain termasuk dari Medan, sehingga mudah sekali dilihat.

Keberadaan masjid ini bukan hanya dibutuhkan bagi sekitar 6.000 jiwa penduduk Dolok Sanggul yang muslim, pun bagi para pedagang dan pelintas dari berbagai daerah, terlebih wisatawan yang tengah berwisata di Humbahas.

Sewaktu pertama kali penulis bertandang ke masjid ini, ada kagum dan syukur merasuk kalbu. Mungkin kedua rasa itu hadir lantaran tak menyangka ada masjid lumayan besar dan gagah di tengah kota berpenduduk mayoritas non muslim ini.

Arsitektur masjid ini tak begitu khas, hampir seperti kebanyakan masjid modern lainnya.
Bagian atapnya ada 3 kubah berwarna putih besi. Kubah paling besar berada di atap bangunan utama, di tengah-tengah. Dua lagi di bagian kiri dan di atas sebuah menara yang sebagian bangunannya menempel dengan bangunan utama masjid.

Sebelum memasuki halaman masjid ini, ada gerbang berbentuk gapura kotak polos tanpa tulisan nama masjid. Gapura itu berwarna hijau senada dengan warna dominan masjid dengan garis tepi (list) kuning dan hitam pada bagian bawah.

Di halaman masjid yang tidak begitu luas, terlihat beberapa warga dan pengurus masjid tengah menanam bermacam tanaman hias di tepian.

Di halaman berlantai semen itu ada plang putih dengan tulisan hitam yang cukup menarik perhatian. Tulisannya berbunyi mengingatkan: “Pastikan Anda Telah Mengkonsumsi yang Halal”.

Hmmm.., dalam hati berguman, tentu tulisan itu  ditujukan buat jamaah muslim agar senantiasa berhati-hati saat memilih menu makan selama berada di kota ini.

Di tempat lain masih di halaman masjid juga, ada plang hijau bertuliskan putih dengan tulisan berbunyi: “Dilarang Meletakkan Sandal, Slop, Sepatu, Terompa di Tangga. Kenaziran Masjid Raya Dolok Sanggul”.

Di samping belakang masjid dekat dengan tempat wudhu dan toilet yang kurang terawat, ada deretan bangunan bercat putih seperti ruang-ruang kelas berlantai 2 yang juga nampak tak terawat.

Di depan jendela bagian atas salah satu ruang kelas tersebut, terpasang bingkai bertuliskan Mutiara Kata berbunyi: “Membaca adalah suatu sarana untuk mendapatkan ilmu. Dengan membaca cakrawala dan paradigm berfikir seseorang lebih luas dan maju. Khazanah ilmu akan dipahami dan berita dunia akan di ketahui. Karena membaca adalah jendela ilmu”.

Usai mengambil wudhu, penulis yang hendak Shalat Zuhur siang itu bersama Miftah, salah seorang staf BPNB Aceh langsung masuk ke ruang lantai dasar masjid itu yang berpondasi 4 pilar berwarna senada dengan dinding masjid, hijau terang dan tua dengan list warna kuning.

Tak ada orang satupun di ruang itu. Karpet sajadahnya pun hanya terbentang dua baris dan kondisi sajadahnya pun terlihat sudah usang.
Di bagian depan ruang itu ada ruang khusus imam dan penceramah, lengkap dengan podium mimbar kayu berwarna coklat.
Di belakang mimbar ada setumpuk gulungan karpet sajadah dan salon sound system. Sepintas terkesan ruangan itu tak seelok bangunan masjidnya.

Keesokan harinya, saat penulis hendak Shalat Asyar, baru tahu kalau ruang utama shalat di masjid itu ada di lantai satu, bukan di lantai dasar seperti pertama kali penulis gunakan untuk shalat.

Untuk sampai ruang utama masjid ini, melewati undakan tangga dengan pagar dari besi berwarna putih.
Pintu ruang utamanya terbuat dari kayu berwarna coklat bagian atapnya melengkung setengah lingkaran. Begitupun dengan bentuk dan list jendela kacanya.  
Di bagian atas jendela ada 4 jendela kecil dari kaca patri dengan tulisan Arab berbunyi Allah dan Muhammad.

Interior Ruang Utama

Setibanya di dalam, penulis baru terkagum-kagum. Suasana interiornya lebih tertata dan bersih. Karpet sajadah berwarna merah terhampar di seluruh lantainya.
Ruangan ini terbagi dua, di bagian depan khusus untuk jamaah laki-laki, sedangkan di belakang dengan pembatas gorden kain untuk jamaah perempuan. Di ruang  perempuan terbagi dua lagi, bawah dan bagian atas yang dibatasi pagar besi putih.

Di tengah ruangan utama beratap putih ini, ada kubah bagian dalam yang berlukis langit berwana biru dengan awan putih yang berarak-arak.
Di bagian bawahnya ada kaligrafi Islam bertuliskan deretan asma'ul husna atau nama-nama Allah yang baik dan indah. Di tengah kubah, menggantung lampu hias kristal berwarna putih gading, memperelok ruangan ini.

Di ruangan ini juga terdapat ruang khusus imam dan penceramah dengan podium mimbar dari kayu berukir berwarna coklat tua. Di samping kiri mimbar ada sajadah khusus imam berlapis dua yang terhampar di atas karpet juga berwarna merah.

Dari 4 jendela kaca dalam ruangan utama ini, dapat terlihat dengan jelas Jalan Raya Siliwangi dan deretan bangunan ruko, rumah makan, losmen, dan lainnya di kiri-kanannya.

Dekat pintu keluar ruangan dalam ini, ada kotak infaq terbuat dari besi dengan 4 penyangga yang cukup tinggi berwarna hijau.

Puas mengabadikan bagian dalam masjid, penulis melanjutkan pengambilan gambar dari luar. Di dinding luar masjid bagian atas yang menghadap ke jalan raya, tertera Surat Al-Baqarah. Sedangkan di bawahnya ada 3 surat Al-Qur’an lagi yakni Surat Iqra, Al-Fatihah, dan Surat Annas dengan tulisan berwarna hitam masing-masing di beri kotak dengan warna dasar hijau terang dan list warna kuning.

Biar bisa mengabadikan masjid ini secara keseluruhan, penulis menyeberang jalan. Dari depan Rumah Makan Islam Suka Raya yang menjual Mie Ayam Halal, baru terlihat keanggunan, keteduhan sekaligus kegagahan masjid ini. Apalagi siang itu langitnya biru bersih hingga  menambah pesonanya sekalipun bentangan kabel-kabel listrik sedikit menggangu pemandangan. Hati pun kembali berdecak kagum dan mengucap syukur.

Selesai memotret dan hendak balik ke hotel, beberapa peserta LASEDA 2016 yakni para pelajar SMA dan guru pendamping dari Aceh tepatnya perwakilan dari Subulussalam, Bireuen, Banda Aceh, dan Sabang serta dari Sumut, tepatnya dari Tanjung Balai terlihat memasuki Masjid Raya Dolok Sanggul untuk menunaikan Shalat Asyar.

“Alhamdulillah,” ucap hati. Kenapa? Karena mereka pun tidak meninggalkan kewajibannya sebagai muslim, di kala berwisata dan menjalani kegiatan dunawi yang serba menjebak dan menggoda.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)

Kamis, 19 Mei 2016

Terpesona Arsitektur Piramida Khas Masjid Raya Batam

Berwisata ke Batam paling seru, ya berbelanja aneka produk berharga miring, menyantap kuliner sop ikan dan aneka olahan seafood lainnya, serta mejeng di Jembatan Barelang sambil mencicipi sate udang, kepiting, dan jagung bakar. Tapi awas jangan lupa diri, yang WAJIB harus tetap ditegakkan lho. Nah, kalau Anda kebetulan sedang berada di Batam Center lalu mendengar lantunan azan, segeralah bergegas ke Masjid Raya Batam (MRB) dengan senyum cerah dan hati senang.

Kenapa harus ke Masjid Raya Batam? Apa tidak ada masjid lain? Mungkin itu yang menjadi pertanyaan Anda saat membaca lead di atas.

Jawabannya karena masjid tersebut masjid terbesar sekaligus menjadi salah satu icon Kota Batam, selain Jembatan Barelang dan Tulisan Welcome To Batam di Bukit Clara. Tulisan bercat putih tersebut itu pun dapat dilihat jelas dari samping kiri masjid ini.

Keistimewaan lainnya, masjid yang dibangun di atas tanah kompleks seluas 75.000 m2 pada tahun 1999 dan rampung tahun 2001 silam ini  berada dekat dengan Pelabuhan Ferry Internasional Batam Center.

Setiap hari wisatawan mancanegara dan nusantara yang berkunjung ke Batam melalui Singapura melintasi dan dapat melihat dengan jelas masjid ini. Batam merupakan pulau terdekat dengan negara tetangga Singapura.

Kelebihan lainnya, masjid yang pembangunannya diprakarsai Ismed Abdullah selaku ketua Otoritas Batam dan Ir. Achmad Noe’man sebagai arsitek masjid ini, arsitekturnya berbentuk paduan antara balok bujur sangkar pada bagian bawah dan lintas sama sisi pada bagian atas yang merupakan kepala bangunan.

Bentuk limas sama sisi (teriris tiga bagian) dipilih dengan pertimbangan bahwa bentuk atap yang cocok untuk denah bangunan bujur sangkar, mempunyai persepsi vertikalisme menuju satu titik di atas sebagai simbol hubungan antara manusia dan Tuhan (habluminallah).

Sedangkan irisan tiga bagian merupakan simbol perjalanan hidup manusia (sebagai hamba Allah) dalam tiga alam yaitu alam rahim, dunia, dan alam akhirat.

Masjid yang ruang shalat bagian dalamnya berluas 2.515 m2 hingga mampu menampung 3.500 jamaah  dan 15.000 jamaah lagi di bagian luar ini memiliki kubah dengan bentuk unik yang berdesain limas segi empat atau seperti piramida. Bagian atapnya dihiasi lampu-lampu gantung terkesan gagah.

Ruang salat ditutup klinker terakota  berwarna merah bata. Garis-garis shaf memakai bahan paving blocks warna kelabu sehingga terlihat kontras.

Di ruang shalat bawah ada kolam air mancur yang bisa juga dipakai sebagai tempat berwudhu. Selain itu ada bak-bak tanaman batu kali, lampu-lampu taman, dan deretan pohon palem raja.

Keseluruhan elemen itu membuat suasana ruang salat lebih nyaman, lebih indah, dan berwibawa.

Tak heran masjid yang dilengkapi dengan menara setinggi 66 m ini selain menjadi tempat ibadah, pun menjadi  pesona daya tarik pariwisata.

Masjid yang kini berganti nama menjadi Masjid Agung Batam (MAB) juga dilengkapi dengan ruang wudlu pria seluas 506,7 m2, ruang wudlu wanita (178,1), ruang penitipan barang (39,96), dan ruang kegiatan seluas 2.190,3 m2.

Mengapa berganti nama menjadi MAB? Nama ini ditetapkan oleh Kementerian Agama pada Juli 2010 lalu dan ditindaklanjuti dengan SK Walikota Batam.

Pergantian nama tersebut berdasarkan peraturan Kementerian Agama yang mengatur nama sebuah masjid sesuai dengan wilayahnya. Kalau masjid raya itu untk wilayah provinsi sedangkan untuk wilayah kota harus menggunakan nama masjid agung.

Oleh sebab itulah MRB berubah nama menjadi MAG karena masjid skala kota bukan provinsi. Kendati begitu tetap saja masyarakat Kota Batam lebih mengenal sebutan MRB  ketimbang MAG karena nama MRB sudah lama dikenal dan menyatu di hati warga Batam.

Kelebihan lain, masjid yang masjid ini terletak di Jalan Engku Putri Kota Batam, kawasan Batam Center ini juga selalu menjadi pusat acara keagaman islam yang biasa diselenggarakan Pemkot Batam.

Tak sulit menemukan masjid ini. Lokasinya berhadap-hadapan dengan kantor Badan Otorita Pengembangan Pulau Batam atau BIDA (Batam Industrial Development Authority) dan bersebelahan dengan alun-alun.

Cuma butuh waktu sekitar 20 menit dari Bandara Internasional Hang Nadim, Batam dengan taksi.

Pertanyaan berikutnya, kenapa harus dengan wajah cerah dan hati senang?

Jawabannya karena Anda termasuk orang yang beruntung, masih tetap mengindahkan perintah-Nya, menunaikan Shalat Wajib Lima Waktu dan atau Shalat Jumat di masjid meskipun sedang bersenang-senang, berwisata memanjakan diri di dunia yang sesaat, serba menggoda dan menjebak.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)



Amirul Mukminin, Masjid Terapung Dambaan Wisatawan Saat Nikmati Pantai Losari


Kalau Anda berwisata ke Makassar, Sulawesi Selatan, tepatnya di kawasan Pantai Losari, pasti akan menemukan masjid yang dibangun di atas permukaan laut dengan ditopang sejumlah tiang pondasi yang tertancap kuat di dasar Timur Laut Losari. Sejak dibuka tahun 2012 silam, masjid berwarna putih, abu-abu, dan aksen hitam dengan dua menara menjulang setinggi 16 meter ini menjadi dambaan wisatawan.

Saat air pasang, tiang-tiang masjid ini tak nampak sehingga masjid berarsitektur modern ini seperti mengapung di permukaan laut, oleh karena itu disebut Masjid Terapung.

Masjid yang lokasinya berhadapan dengan rumah jabatan Walikota Makassar di Jalan Penghibur ini diklaim menjadi Masjid Terapung pertama di Indonesia.

Kalau Anda perhatikan lagi, jamaah yang datang ke masjid bernama Amirul Mukminin ini sebagian besar wisatawan yang tengah berwisata di Makassar yang berjuluk Kota Anging Mamiri ini. Wisatawan dan warga biasanya mulai berdatangan ke lokasi jelang sore hari.

Jika dulu di kawasan pantai paling tersohor di Kota Makassar bahkan Sulsel ini, wisatawan hanya duduk-duduk menunggu matahari ternggelam kemudian nongkrong di deretan kursi plastik depan gerobak pedagang Pisang Epe.

Kini sejak kehadiran Masjid Terapung ini wisatawan pun jadi mudah menunaikan kewajibannya Shalat Maghrib secara berjamaah saat berwisata di Bumi Pisang Epe ini.

Pantauan Siarmasjid, sejak sore mulai pukul 3, wisatawan sudah mulai banyak yang membanjiri masjid ini. Mereka umumnya wisatawan dari luar Makassar yang terpesona dengan keindahan sekaligus keunikan masjid ini.

Biasanya mereka melakukan Shalat Ashar di sini, kemudian melanjutkan jalan-jalan, foto-foto, dan berwisata kuliner di sepanjang Pantai Losari.  Jelang Maghrib, mereka kembali lagi untuk mengabadikan pesona sunset yang menawan. Baru kemudian Shalat Maghrib berjamaah.

Itu pula yang penulis lakukan disela-sela meliput even Lomba Kuliner Berbahan Ikan & Pangan Lokal 2016 yang digelar Kementerian Pariwisata (Kemenpar) selama 2 hari (14-15/5) di Anjungan Pantai Losaari, Makassar.

Sebelum azan Ashar berkumandang, sejumlah jamaah mulai memasuki masjid lewat jembatan yang tiang-tiang pondasinya menancap di dasar laut.  Di ujung masing-masing jembatan ada tempat penitipan sepatu dan sandal. Pengunjung dilarang mengenakan alas kaki di halaman masjid.

Halaman depan masjid ini juga kerap digunakan jamaah untuk shalat jika di bagian dalam penuh. Di halaman ini ditempatkan beberapa kota amal untuk jamaah yang ingin berinfaq.

Dari segi ukuran, masjid berlantai tiga berdiameter 45 meter dengan 2 kubah berwarna biru masing-masing berdiameter 9 meter ini, tidaklah terlalu besar. Namun ternyata mampu menampung sekitar 500 jamaah.

Mungkin karena berada di tepian laut, meskipun siang hari terik, kondisi udara di ruang dalam masjid ini pun tetap sejuk kendati pengelolanya tak menyalakan AC.

Tempat wudhu utama di masjid ini ada dua, di sebelah kiri dari pintu masuk masjid untuk laki-laki merangkap toilet. Di sebelah kanannya khusus untuk wanita. Beberapa kran air untuk berwudhu juga di sediakan dekat halaman masjid di sebelah kiri dan kanan, dekat dengan penitipan sepatu/sandal.

Ruang shalat laki-laki di lantai dasar dengan atap yang dihiasai sejumlah lampu hias bulat hingga menambah kesan modern dan elegan interior masjid ini.

Sedangkan di lantai dua khusus jamaah perempuan dengan menaiki tangga melingkar. Tapi ada juga jamaah perempuan terutama yang sudah uzur memilih shalat di bagian belakang ruang dasar khusus pria.

Di dalam masjid ada seorang anak berusia belasan tahun melantunkan Ayat-Ayat Suci. Suaranya merdu menambah keteduhan bukan cuma ruang masjid, pun ruang ruang kalbu ini. Bocah yang mengenakan peci berwana putih dan baju gamis abu-abu itu pun kemudian mengumandangkan azan dengan suara lantang dan indah.

Imamnya pun tak kalah menawan hati. Suara dan intonasinya saat melafazkan bacaan shalat mirip imam di Masjid Masjidil Haram.

Usai shalat Ashar berjamaah, banyak pengunjung yang naik ke lantai tiga melalui tangga yang melingkar di sisi kanan dan kiri untuk menikmati pemandangan. Panorama kawasan Pantai Losari dari lantai 3 masjid ini sungguh menawan, apalagi jelang matahari kembali ke peraduan.

Keunikan lain masjid ini, jika dilihat dari atas dua buah kubah dan tangga melinggar menuju lantai tiga, membentuk angka 99, melambangkan asmaul khusna.

Tak bisa dipungkiri masjid yang diresmikan oleh Ketua Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla pada 21 Desember 2012 silam ini menjadi dambaan wisatawan.

Kehadirannya bukan semata menambah pesona keindahan Pantai Losari pun membantu memudahkan wisatawan yang ingin tetap menunaikan Shalat Wajib Lima Waktu saat berwisata.

Kehadiran Masjid Terapung Amirul Mukminin ini menambah deretan masjid favorit di Kota Makasar. Sebelumnya ada Masjid Raya dan Masjid Al Markaz Al Islami yang keduanya berlokasi di Jalan Masjid Raya, di tengah Kota Makassar.

Amran (43 tahun), salah sorang wisatawan luar Makassar yang penulis temui usai Shalat Asyar berjamaah di Masjid Terapung ini, mengaku masjid yang dibangun di era Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin ini menjadi salah satu tujuan favorit jalan-jalannya bersama keluarga, setelah masjid Al Markaz Al Islami.

"Sejak ada masjid ini, atmosfir Islami di Pantai Losari lebih terasa. Kami jadi tak bingung kalau mau shalat saat piknik di sini,” aku Amran yang datang bersama istri dan tiga orang anaknya yang masih kecil-kecil.

Boleh dibilang Masjid Terapung Amirul Mukminin menambah magnet kawasan Pantai Losari semakin kuat. Landmark Islami ini mampu menjaring wisatawan datang dan betah berlama-lama di Pantai Losari.

Belakangan ini sejumlah kota lain ikut tertarik membangun masjid terapung agar dapat menarik kunjungan wisatawan seperti yang berhasil dilakukan Makassar.

Contohnya Bandung, meskipun tak punya laut, dalam waktu dekat Ibukota Jawa Barat yang dikelilingi pegunungan ini akan memiliki masjid terapung di atas danau di daerah Gedebage yang diberi nama Masjid Al-Jabbar.

Melihat kesukseskan Masjid Terapung Amirul Mukminin menjaring wisatawan ke Makassar, tak berlebihan rasanya kalau konsep pantai bermasjid unik, menarik, dan nyaman ini patut ditiru daerah wisata lain biar lebih berkah. Soalnya saat berwisata, wisatawannya jadi tak kesulitan mencari tempat beribadah.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)