berita masjid masjid raya masjid unik masjid bersejarah surau ceramah profil

Jumat, 27 Juli 2012

Ke-Magic-kan Masjid Al Alam Marunda Diburu Peziarah


Menyebut Marunda  di ujung Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, banyak orang lantas merujuk ke Rumah Si Pitung, rumah bekas Robin Hood-nya Betawi tempo doeloe. Masih ada satu lagi bangunan yang juga dikait-kaitkan dengan sang jawara bergolok dan bersarung ini, yakni Masjid Al Alam Marunda yang juga disebut Masjid Si Pitung. Apa hubungan antara Si Pitung dengan masjid yang berdasarkan beberapa catatan sejarah dibangun Fatahillah pada tahun 1527 ini?

Tokoh Betawi, Alwi Shahab pernah mengatakan bahwa Masjid Al Alam Marunda didirikan oleh Fatahilah atau Sunan Gunung Jati dan pasukannya padaabad ke-18 tepatnya tahun 1527 M, setelah mereka berhasil mengusir Portugis di Sunda Kelapa-Jakarta dulu.  Masyarakat Marunda, terangnya ada yang berkeyakinan bahwa Fatahillah membangun Masjid Al-Alam hanya dalam sehari.

Menurut Alwi lagi, dulu banyak tentara tentara Demak yang bersembunyi dari kejaran Belanda di masjid ini. Si Pitung dan jawara dari tanah Betawi lainnya seperti Si Ronda, Si Jampang, dan Si Mirah pun bersembunyi di masjida dan mereka semua lolos dari kejaran.

Berkat sejarah yang menyebutkan kalau masjid ini dibangun oleh salah seorang Walisongo dan memiliki ke-magic-kan, tak heran banyak peziarah yang berasal dari berbagai daerah datang ke masjid ini. Kehadiran para peziarah ini jelas mendatangkan keuntungan bagi masyarakat sekitar masjid dengan membuka warung kelontong dan warung makan.

Meski berukuran kecil seperti mushola yakni berukuran sekitar 64 meter persegi. Namun arsitektur masjid yang juga disebut Masjid Aulya Marunda ini cukup menarik, paduan antara gaya Islam-Jawa Pesisir, Arab dan Eropa. Gaya Jawa Nampak dari  atapnya yang berbentuk joglo bertingkat dua. Atapnya berbentuk joglo yang diditopang 4 pilar bulat buntek.

Gaya Arab terlihat dari lengkungan di mihrab yang mengambil pola ukiran kaligrafi. Mihrabnya seukuran badan yang menjorok ke dalam tembok,  letaknya di sebelah kiri mimbar. 

Sedangkan gaya Eropa dari bentuk empat tiang bulat yang menopang atap masjid. Arsitekturnya sepintas seperti bangunan Masjid Demak. 

Masjid ini juga unik, kendati luas bangunan 10 x 10 meter namun berplafon setinggi 2 meter dari lantai dalam.
Di bagian kiri Masjid, dulunya merupakan kolam yang digunakan untuk mencuci kaki sebelum masuk masjid, seperti kolam yang ada di Masjid Agung Banten Lama. Bedanya, kolam di Masjid Agung Banten Lama terletak di bagian depan halaman masjid.

Sayangnya  kolam  di Masjid Al Alam itu  sudah tertutup ubin berwarna merah dan sebuah sumur yang juga sudah ditutup. Uniknya lagi kendati tempat wudhu barunya berjarak sekitar 100 meter dari bibir pantai  namun airnya tetap tawar.

Masjid ini mengalami beberapa renovasi. Namun masih ada beberapa bagiannyayang masih asli. Di antaranya tembok di ruang utama masjid yang tebalnya sekitar 27 cm dan hiasan jendela yang terdapat di ruang buat imam. 

Sedangkan benda kuno yang masih tersimpan sampai saat ini adalah sebuah tongkat berukir melingkar seperti ular yang hanya dikeluarkan setiap hari Jum’at untuk khutbah.  Konon, tongkat tersebut datangnya misterius, tiba-tiba datang ke masjid ini lewat air.

Sewaktu penulis mengunjungi masjid yang berada di tepi Pantai Marunda ini, ada puluhan pengunjung yang datang. Mereka selain menunaikan kewajiban Shalat Ashar juga berdoa minta sesuatu yang diharapkan. “Saya sengaja ke sini berharap enteng jodoh,” kata Rani yang datang dari Tangerang.

Tadi sebelum ke sini, Rani sempat mampir ke rumah pitung. “Sayang,  rumah Si Pitung-nya sepi dan rada kurang terawat,” katanya. 

Berdasarkan catatan sejarah, sejak tahun 1975, Masjid Al-Alam Marunda dan Rumah Si Pitung, dinyatakan sebagai Benda Cagar Budaya. Dan sejah 2009 Pemkot Jakarta Utara memasukan dua bangunan bersejarah itu dalam 12 tempat tujuan wisata di bilangan Utara Jakarta.

Naskah & foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Kamis, 26 Juli 2012

Ke Curug Malela, Singgahlah ke Mesjid Jami Assibyan

Mungil tapi bersih.

Kalau menyebut Curug Malela mungkin para pegiat alam bebas, tourism blogger, dan petualang di Bandung dan Jabodetabek tak begitu asing, lantaran informasinya sudah mulai banyak di internet. Tapi kalau menyebut Mesjid Jami Assibyan mungkin segelincir saja yang tahu. Maklum, informasinya amat minim. Lalu apa hubungannya antara curug yang berjuluk Niagara Mini-nya Indonesia dengan mesjid itu?

Kalau ditilik secara geografis, jelas kedua obyek yang sangat  berbeda ini, yang satu obyek wisata alam yang belakangan kian diminati turis lokal dan mancanegara  karena keindahannya, dan satunya lagi tempat peribadatan muslim ini jelas ada hubungan.

Mesjid Jami Assibyan berada di Kampung Simpang, tepatnya di RT01/RW03, Desa Bunijaya, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.  Sekitar 100 meter  dari pertigaan antara ke Cianjur, Bandung, dan arah ke Curug Malela. Posisinya agak ke dalam, lewat gang kecil yang di kiri kanannya rumah penduduk.

Sedangkan Curug Malela berada di Kampung Maglid, Desa Cicadas, Kecamatan Rongga, Kabupaten Bandung Barat, masih di Jawa Barat.

Pertigaan Kampun Simpang di mana terletak tak jauh dari Mesjid itulah tempat pemberhentian pengunjung yang hendak melanjutkan perjalanan ke Curug Malela setelah menempuh waktu perjalanan sekitar 3 jam dari Terminal Lewi Panjang, Kota Bandung dengan bis ¾.

Biasanya pengunjung menunaikan kewajibannya Shalat Zuhur  di Mesjid Assibyan  sesampainya di pertigaan simpang sebelum ataupun sesudah menikmati pesona Curug Malela. Lokasi Curug Malela dari pertigaan tersebut masih sekitar 2 jam lagi dengan ojek sepeda motor dan dilanjutkan dengan berjalan kaki.

Seperti yang dilakukan beberapa serdadu (anggota) Kembara Tropis (KT)_ sebuah komunitas pegiat alam bebas  yang berbasis di Jakarta, sepulang bermalam di Curug Malela. 
Plang persimpangan.

Selepas makan siang di sebuah rumah makan di depan raya pertigaan simpang tersebut, serdadu  Marno, Ratna, Iwoe, Ana termasuk saya menunaikan Shalat Zuhur di Mesjid Jami Assibyan. Sementara 2 serdadu KT lainnya Lestari dan Tuti menunggu di depan warung makan tersebut karena sedang berhalangan.

Usai mendapat informasi letak mesjid dari pemilik rumah makan tersebut, kami pun bergegas. Setelah menyeberang jalan, kemudian masuk gang, barulah nampak atap dan bagian belakang  mesjid ini.

Dari namannya saya pikir mesjid ini berukuran besar dan megah sebagaimana masjid jami umumnya. Ternyata ukurannya tidak begitu besar, lebih menyerupai mushola.

Interiornya juga amat sederhana. Tidak ada lampu besar apalagi kristal sebagaimana masjid besar. Arsisitekur masjid bergenting tanah liat ini berjenjang pada atapnya. Di bagian puncak atapnya ditempatkan kubah kecil dari bahan seng. Di antara jenjangnya ditempatkan speker atau alat pengeras suara azan.

Di halaman belakang masjid ini dekat depan persimpangan gang, tertancap plang nama mesjid ini. Yang justru cukup menarik, persis depan mesjid ini kira-kira sekitar 15 meter, mengalir Sungai Cicadas yang berair bening saat musim kemarau. Sumber air untuk kolam dan wudhu jamaah mesjid ini diambil dari sungai tersebut dengan cara dialirkan dengan  pipa plastik.

Saat kami tiba di mesjid itu, sepi. Tidak ada satupun jamaah apalagi pengurus mesjid. Mungkin waktu shalat zuhur berjamaah sudah selesai.  Tak lama kemudian ada dua orangtua yang mampir dan zuhuran di masjid tersebut. Keduanya nampak bukan orang asli Kampung Simpang ini.

Usai zuhuran, saya berniat beramal. Tapi kotak amal yang saya cari, tidak ada satupun. Entah mungkin tidak disediakan atau disimpan oleh pengurusnya untuk mengantisipasi pencurian.
4 Serdadu KT berpose.

Sebelum kembali ke rumah makan semula, kami sempat mengabadikan mesjid mungil ini. Tak lupa foto bersama di bawah plang-nya.

Kendati kecil dan tak megah, keberadaan mesjid ini amat membantu pengunjung yang hendak melaksanakan kewajibannya. Dan satu lagi, sekalipun ukurannya kecil, kebersihan masjid ini cukup terjaga. Di halamannya tak ada sampah yang berserakan.

Nah, jika Anda kebetulan berwisata ke Curug malela dan melewati pertigaan Kampung Simpang ini, tak ada salahnya mampir ke Mesjid  Jami Assibyan untuk shalat dan menikmati sejuknya air wudhu yng diambil dari Sungai Cicadas yng mengalir di depan mesjid tersebut.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Senin, 23 Juli 2012

Ngabuburit di Sekitar Masjid Lebih Ajib



Lokasi ngabuburit sambil berburu kuliner untuk berbuka puasa di Jakarta memang banyak pilihan. Ada mall, taman, pasar dan lainnya. Dari semua itu yang paling ajib tentu saja  tempat di sekitar masjid. Jadi usai santap takjil, bisa terus Shalat Magrib berjamaah di masjid, baru kembali ke lokasi untuk berbuka puasa dengan lebih santai.

Di Jakarta menjamur lokasi sentra kaki lima untuk berbuka puasa, namun yang dekat dengan masjid ataupun musholla hanya ada beberapa tempat. Di Jakarta Selatan, misalnya ada di kawasan Masjid Al Azhar, Kebayoran Baru.

Lokasi makannya di belakang Masjid Agung Al Azhar yang di luar bulan puasa dikenal sebagai tempat nongkrong anak muda. Dari sekian pedagang kaki lima yang ada di sisi kantor Departemen Pekerjaan Umum ini, Roti Bakar Edi Blok M yang paling tersohor.

Usai membatalkan puasa dengan takjil dan shalat maghrib di Masjid Al Azhar, tinggal jalan kaki, tak sampai 3 menit sudah sampai di deretan warung tenda Roti Bakar Edi dan lainnya. Setelah berbuka, lanjutkan saja shalat Isya dan taraweh di masjid bercat putih yang berdekatan dengan Universotas Al-Azhar ini.

Pilihan lain berbuka di kawasan Bulungan samping Blok M Plaza. Di Sana ada deretan pedagang gule tikungan atau gultik dan ayam bakar Gathari yang tersohor. Kalau mau shalat magrib tinggal ke Mushola Gelanggang Olahraga Bulungan, sekitar 50 meter.

Di Jakarta Pusat lebih banyak pilihan. Sebut saja pedagang kaki lima di dekat Masjid Sunda Kelapa, Menteng. Pada bulan puasa, orang mulai berdatangan pukul 16.00 untuk duduk di dalam masjid, di taman di luar warung makan sambil menunggu magrib. Setelah azan magrib pengunjung biasanya menikmati air kelapa kemudian shalat magrib dan dilanjutkan berbuka di pedagang kaki lima setempat.


Beragam makanan dan minuman yang dijajakan pedakang kaki lima di samping masjid ini. Ada gudeg Jogja, sate dan soto Padang, mendoan Purwokerto, serabi Bandung, bakwan Malang dan bubur ayam. Sedangkan minumannnya antara lain es kelapa, sup buah, es buah, aneka jus buah, es teler, kolak, es krim, es camcau, es cendol, dan dawet ayu.

Masih di Menteng, tepatnya di seberang Masjid Al Hakim, Jalan HOS Cokroaminoto, ada tempat makan yang tertata rapi dan tiap malam ramai dikunjungi penggila kuliner. Ada skitar 20 gerobak penjual makanan di tempat ini lengkap dengan meja dan bangku serta payung tenda. Makan yang dijual sangat variatif antara lain dim sum, sate padang, bubur, nasi goring gila, dan siomay serta aneka jus.

Pilihan lainnya di Masjid Cut Mutia, Menteng yang suasananya teduh dengan kerindangan pohon-pohon besar di halaman masjid. Pengunjung bias berbuka di pedagang kaki di tepi masjid atau di Stasiun Gondangdia yang terletak hanya beberapa puluh meter dari masjid yang berkubah unik berarsitektur Belanda yang dibangun Belanda pada abad 19 ini.

Jenis makanan dan minuman yang dijual di masjid yang sempat jadi landmark-nya Menteng ini cukup beragam. Ada mie jawa, nasi goreng, sate padang, ketoprak, nasi padang, warteg, sop, tongseng, sate kambing, dan es kelapa.

Lokasi lainnya di pedagang kaki lima di sekitar Jalan Agus Salim atau kawasan Sarinah, di sana ada Masjid Al Hikmah Sarinah, belakang Jakarta Teater. Di sini banyak pedagang kaki lima seperti sate, soto ceker ayam bu gendut, rumah makan Ampera, dan lainnya.

Masih di Jakarta Pusat, tepatnya di kawasan Kemayoran, Ada lokasi yang biasa menjadi tempat ngabuburit sekaligus berbuka dekat Masjid Akbar Kota Bandar Baru Kemayoran. Di samping masjid dan sepanjang trotoarnya, sederet warung makannya ramai didatangi orang untuk berbuka puasa.


Masjid Istiqlal juga menjadi lokasi ngabuburit warga jakarta dan luar jakarta. Di sebelah barat masjid ini ada penjual makanan dan minuman anatra lain nasi pecel dan nasi rames. Sementara di Jalan Veteran di seberang masjid ini ada Ice Cream Robusta, pempek merdeka, dan sejumlah café & resto.

Pun di dekat Stasiun Juanda masih di seberang masjid terbesar di Indonesia ini, ada sejumlah pedagang makanan dana minuman seperti es kelapa, mie ayam, warteg, nasi padang, dan lainnya.

Di Jakarta Utara, lokasi ngabuburit dengat masjid yang paling ramai ada di depan Masjid Islamic Center. Di trotoar depan gapura atau pintu gerbang masjid yang beridiri di eks lokalisasi Kramat Tunggak, Tanjung Priok  ini ada sejumlah pedakang kaki lima yang menjual aneka makanan dan minmuan seperti soto ayam, bubur nasi, sate padang, es kelapa dan lainnya.

Geliat para penjual kuliner khas Nusantara di sekitar masjid-masjid di Jakarta ini biasanya dimulai sekitar pukul 15.00 WIB. Puncak keramaian warga yang datang menikmati sajiannya hingga usai shalat tarawih.

Naskah &  Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Sabtu, 21 Juli 2012

Mesjid Agung Al-Falah Sigli (kembali) Berdiri Gagah


Sempat beberapa bagian bangunannya runtuh akibat diguncang gempa disusul tsunami hebat 7 tahun lalu, Masjid Agung Al-Falah, kini tampil gagah kembali.  Kalau Anda berkunjung ke Sigli,  jangan hanya menikmati Mie Aceh Sigli yang memang nikmat atau mendatangi Tugu Peringatan Korban Tsunami-nya saja, kunjungilah masjid yang menjadi kebanggaan masyarakat Kota Sigli, Kabupaten Pidie, Aceh  ini.

Ketika saya hendak bertugas ke Takengon April 2012 lalu, saya sempat mampir ke Masjid Agung Al-Falah Sigli untuk menunaikan Shalat Zuhur selepas makan siang.  

Kebetulan letak masjid ini amat strategis, di tengah Kota Sigli tepatnya di Jalan Prof. A. Majid Ibrahim yang menjadi lintasan jalan utama antarkota di Aceh. Di seberangnya ada bangunan Bank Aceh yang warnanya paling mencolok, bercat serba hijau.

Bangunan utama masjid ini amat besar dan nampak gagah dengan keseluruhan dindingnya bercat putih termasuk kubah besar dan kecilnya. Sementara menara utamanya yang menjulang tinggi, masih dalam renovasi akibat dari bencana besar itu. Menara tersebut sudah berdiri kokoh namun belum bercat.


 

Tempat wudhu-nya berada di bagian belakang, dekat dengan menara yang berukuran lebih pendek.  Ruangan dalam masjid ini terkesan lapang, dengan dinding-dinding yang terbuka. Ada lampu gantung berwarna kuning yang menggantung di langit-langit.  Di kiri dan kanan bagian dalamnya ada ruangan lantai 2 untuk menampung jama’ah bila ruangan utama di lantai satu penuh.

Pasca tsunami, masjid ini salah satu tempat siraman rohani untuk memulihkan mental para korban tsunami. SDalah satunya yang dilakkukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat bersama Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh.

Akibat bencana gempa dan tsunami 7 tahun lalu itu, Kabupaten Pidie merugi ratusan miiliar. Selain kerusakan rumah penduduk, kantor pemerintah, juga sejumlah mushola, dan masjid termasuk masjid ini.

Korbannya mencapai sekitar 120ribu. Untuk mengenang musibah dasyat itu, dibangun Monumen Tsunami, yang berada di pesisir Pantai Kota Sigli.

Pada Pilkada Aceh, Maret 2012, di halaman masjid ini dijadikan tempat ikrar pilkada damai bertajuk jagalah perdamaian yang dgelar Komisi Independen Pemilihan Pidie.




Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Jumat, 20 Juli 2012

Habis Borong Dodol Mampir ke Masjid Agung Garut


Beriwisata ke Kota Garut, Jawa Barat saat Ramadahan, belum lengkap kalau belum mampir ke Mesjid Agung-nya. Selain bersuasana teduh dengan lokasinya yang strategis, tak jauh dari pusat keramaian, pada bulan Ramadhan khususnya menjelang senja, tempat ini menjadi salah satu lokasi favorit warga dan  wisatawan local Garut untuk mencari menu tajil.
Lantaran berada di alun-alun dengan halama luas dan bangunana yang tinggi dan besar, membuat masjid ini kerap menjadi tempat transit bagi para pelancong dalam negeri untuk shalat dan beristirahat sejenak.
Bentuk fisik masjid ini jelas beda dengan dengan Masjid Agung Garut pada awal abad ke 19.  Teutama pada bentuk kubahnya.
Umumnya masjid di Priangan termasuk Masjid Agung Bandung, Masjid Agung Garut pada masa itu pun menganut konsep tajuk tumpang tiga atau lebih dikenal dengan atap“nyungcung”. Itulah mengapa di tanah sunda jaman  baheula (dulu) sering kita dengar istilah “ka bale nyungcung” untuk menggambarkan pasangan yang akan melakukan akad nikah di Masjid Agung.
Berdasarkan catatan sejarah, pembangunan mesjid ini bertalian erat dengn pembangunan Kabupaten Garut. Pada tanggal 15 September 1813 pertama kali dibangun sarana dan prasarana ibukota yaitu pendopo, kantor asisten residen, mesjid, penjara, dan alun-alun.



Tapi jika melihat nisan kuburan yang terletak di samping masjid ini, mesjid ini kiranya dibangun pada tahun 1809 atau bahkan sebelumnya. Ketika itu ada tradisi bahwa yang disebut kuburan pasti dibuat di dekat mesjid layaknya mesjid-mesjid di  Jawa seperti Masjid Agung di  Banten dan Demak.
Catatan di sekretariat DKM Mesjid Agung menyebutkan, perubahan signifikan atas mesjid ini terjadi pada 1979 yang merubah bentuk atap, dari lancip menjadi kubah dan plat beton. 
Bentuk kubah ini diubah kembali secara menyeluruh pada  10 November 1994 dan rampung pada 25 Agustus 1998. Renovasi terakhir inilah yang mengubah pula arah kiblat dengan bantuan ahli geodesi dari  ITB menggunakan GPS (Global Positioning System).
Masjid Agung Garut terletak di  Jalan ahmad Yani, Garut sebelah Utara Alun-alun Garut. Berdiri di atas lahan seluas  4.480 m2. Masjid ini menjadi masjid utama di Kabupaten Garut serta menjadi pusat semua kegiatan keagamaan (Islam) di Kota Garut. 



Dahulunya antara mesjid dan alun-alun dipisahkan oleh  Jalan alun-alun Barat. Saat ini jalannya dihilangkan sehingga mesjid menjadi satu dengan alun-alun.
Nah, usai memborong dodol yang menjandi panganan khas Garut untuk oleh-oleh, tak ada salahnya mampir ke Masjid Agung Garut untuk menunaikan kewajiban, sambil menikmati keteduhan dan kekhasan arsitekturnya.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)