berita masjid masjid raya masjid unik masjid bersejarah surau ceramah profil

Rabu, 10 November 2010

25 Menit Masjid Istiqlal Jadi Sorotan Dunia


Nama Masjid Istiqlal Jakarta mendunia lantaran kedatangan tamu tak biasa. Ya, Rabu pagi (10/11/2010), Presiden AS, Barrack Hussein Obama dan istrinya Michelle datang ke masjid terbesar di Asia Tenggara ini bertepatan dengan Hari Pahlawan. Kehadiran orang nomor satu di negara adi daya itu jelas menjadi perhatian dunia dan turut melambungkan nama masjid megah ini. Lalu makna apa saja yang didapat dari kunjungan sang presiden yang semasa kecilnya di Menteng suka makan bakso, sate, dan nasi goreng ini?

Obama dan Michelle tiba di Masjid Istiqlal, Jakarta pukul 08.25 WIB. Keduanya disambut Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. Sewaktu masuk, dia (Obama) langsung mengucapkan Assalamualaikum. Kemudian  Ali menjawabnya Waalaikum salam dan selamat datang di Tanah Air Anda yang kedua.

Ketika hendak memasuki bagian dalam masjid, Obama melepas sepatunya, begitupun ibu negara AS Michelle yang sejak semula sudah mengenakan kerudung. Kedua orangtua dari Sasha dan Malia ini kemudian berjalan memasuki beberapa bagian dalam masjid. Setiap sudut atau bagian tertentu, keduanya mendapat penjelasan dari Ali secara detil. Mereka seolah sedang melakukan tur religi, sedang Ali sebagai pemandu wisatanya.

Kepada keduanya, Ali menjelaskan bahwa Masjid Istiqlal merupakan sebuah simbol kemerdekaan Islam di Indonesia yang melarang umat manusia untuk menindas satu sama lainnya.

Ketika memasuki bagian dalam, Obama terpesona dengan  Kubah Masjid. “Dia menyukainya seraya menunjuk kubah perak berdiameter 45 meter dan bertuliskan kaligrafi ayat Kursi itu,” terang Ali.

Dia sempat bertanya arti tulisan kaligrafi "Laa ilaaha illallah" yang ada di dalam masjid. Dan saya menjawabnya itu artinya 'tiada tuhan selain Allah," jelasnya lagi.


 Dari bagian dalam, bawah kubah besar yang dikelilingi 12 tiang masjid, ali mengantar keduanya menuju pelataran Selatan lantai utama untuk melihat bedug dan menara Istiqlal.

Ali menerangkan kepada keduanya  bahwa bedug itu  alat pukul  tradisional Indonesia yang sudah dipakai sebelum Islam masuk ke negeri ini. Setelah Islam masuk, bedug  digunakan untuk mengajak orang menunaikan ibadah sholat dengan cara dipukul dengan tongkat pemekul dari kayu.

Saat menunjukkan menara Istiqlal, Ali pun menjelaskan kalau menara setinggi 66,66 meter itu perlambang jumlah ayat suci dalam Alquran. “Sedang  besi menara setinggi 30 meter personifikasi dari jumlah juz dalam Alquran,” terangnya.

Tentu tur keliling singkat Obama dan Michelle di Masjid Istiqlal berbeda dengan orang biasa, bahkan dengan presudin Austria sekalipun yang datang kemudian. Keduanya  dalam awasan super ketat "Secret Service" yang mengikuti mereka dari belakang. Para tamu dan wartawan hanya diijinkan cukup sampai lantai dasar masjid.

Makna Kunjungan
Kunjungan Obama dan Michelle ke Masjid Istiqlal jelas memberi banyak makna tersendiri bagi Indonesia. Ketersediaan keduanya melepas sepatu, dan Michelle mengenakan jas lengan panjang hujau muda dan celana panjang pipa warna senada serta menutup kepalanya dengan kerudung bermotif dengan dasar warna putih, itupun membuktikan mereka menghormati peraturan yang berlaku bagi setiap tamu yang datang ke tempat ibadah umat Islam.

Tapi anehnya, ada pihak menilai makna kedatangan keduanya justru hanya untuk mengambil hati umat islam Indoneisa termasuk dunia.  Benarkah? Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin, tudingan itu muncul bukan tanpa sebab. Obama, sambung Din, setahun lalu saat berpidato di Mesir berjanji akan memperbaiki hubungan baik antara AS dengan dunia Islam namun kenyataannya belum diwujudkan.

Di balik benar atau tidaknya tudingan itu, yang pasti, kunjungan Obama dan Michelle ke Masjid Istiqlal meski tak sampai setengah jam, pun menjadi simbol hubungan manis antarpenganutagama dan secara tidak langsung membawa pesan positif buat umat Islam.

Bukankah dalam kesempatan itu, Obama juga berjanji akan membantu sebuah perkumpulan muslim di Amerika, Indonesian Muslim Association in America (IMAAM). Akankah ditepati? Walahu'alam bi shahab, hanya Allah yang Maha Tahu.

Kini, selepas kepulangan Obama, Michelle, dan pasukan keamanannya yang serasa paling hebat di dunia, aktivitas Masjid Istiqlal kembali berjalan seperti semula. Masjid ini terus memberi banyak manfaat buat bangsa Indonesia, dan terasa semakin memesona.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Kamis, 04 November 2010

Si Hijau Muda Simbol Pembauran Damai di Pulau Rote


Kalau Anda berwisata ke Pulau Rote, jangan hanya menyaksikan sunset dari atas Bukit Termanu, berjemur di hamparam pasir putih di Nembrala yang berjuluk Kuta-nya Pulau Rote, atau berselancar di Bo’a saja. Tak ada salahnya Anda mampir ke Desa Papela untuk melihat dari dekat  komunitas Islam pembauran antaretnis, sekaligus  sholat fardhu di masjid yang hampir keseluruhannya bercat hijau muda terang, yakni Masjid Jami Papela. 

Masjid ini didirikan oleh komunitas yang tinggal di pesisir pantai ini yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, antara lain Jawa, Madura, Bugis, dan Bajo dari Kendari, Sulawesi Tenggara yang cukup mendominasi dan tentu saja warga asli. Populasi penduduk di Papela saat ini sekitar 1.000 jiwa.

Orang bugis berada di tempat ini sejak tahun 1980an. Haji Haseno diklaim sebagai orang Bugis pertama yang tiba di Papela. Selanjutnya komunitas Bugis berbaur dengan masyarakat setempat hingga terjadi perkawinanan antaretnis. Sementara orang Bajo di Papela  tetap mempertahankan kebiasaan mereka  membangun tempat tinggal di pinggiran pantai.

Selain Masjid Jami, di Papela juga terdapat Masjid Ghoir dan sebuah TK Islam yang baru dirintis. Dulu pernah dibangun sebuah madrasah namun terbengkelai. Di belakang Masjid Jami berdiri Mercusuar yang kerap dijadikan sebagai pemandu nelayan yang melaut pada malam hari, termasuk para pelaut yang melintasi perairan Papela. 

Tips Perjalaan

Masjid Jami Papela berada di Papela yang berjarak 50 Km arah Timur Ba'A, ibu kota Kabupaten Rote Ndao, Pulau Rote. Dari Kupang ke Rote di Kecamatan Pantai Baru dengan angkutan laut dan feri, setiap hari .Naik feri 'Express Bahari' Rp 105.000 AC waktunya 2-3 jam. Rute lain ditempuh dengan perahu motor, dari Pelabuhan rakyat (Pelra), seperti di Papela-Kecamatan Rote Timur, Oelaba-Kecamatan Rote Barat Laut, Batutua-Kecamatan  Rote Barat Daya, dan Ndao-Kecamatan Pulau Ndao. Kemudian dilanjutkan dengan kendaraan roda empat ke Papela. Sewa mobil Rp 600.000, jarak Kota Ba'a ke Papela sekitar 4-5 Km. Biasanya mobil angkot yang disewa. 

Luas Pulau Rote hanya 1.214,3 Kilometer persegi dengan populasi sekitar 102.000 jiwa. Ada 6 kecamatan, di dalamya yakni Kecamatan Rote Barat Daya (17 desa), Rote Barat Laut (15 desa dan 1 kelurahan), Lobalain (11 desa dan 3 kelurahan), Rote Tengah (11 desa dan 1 kelurahan), Pantai Baru (10 desa dan 1 kelurahan), dan Kecamatan Rote Timur (9 desa dan 1 kelurahan). Selain Masjid Jami Papela, masih ada beberapa masjid lain di sejumlah kecamatannya.

Naskah: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Sumber & Foto:  Tuti Widiastuti

Kamis, 28 Oktober 2010

Kisah Masjid-Masjid Perkasa dari Bencana


Banyak masjid yang terkenal karena memiliki keindahan arsitekturnya, kesejarahannya atau keunikannya. Tapi ada juga yang namanya tersiar luas justru karena keperkasaannya dari amukan bencana gempa, tsunami, dan air bah. Masjid apa saja?

Berdasarkan pantuan siarmasjid di sejumlah lokasi terjadinya bencana gempa yang kemudian disusul tsunami maupun air bah, ada tiga masjid perkasa yang masih berdiri utuh sampai saat ini.

Pilihan pertama adalah Masjid Baiturrahim di pinggir Pantai Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Masjid ini merupakan satu-satunya bangunan yang tetap berdiri kokoh meski diterjang gelombang dasyat tsunami beberapa tahun silam. Padahal bangunan rumah dan lain di sekitarnya rata dengan tanah.

Berkat keperkasaan masjid yang berdiri tahun 1342 Hijriah ini, kini banyak wisatawan yang berdatangan untuk sekadar mengetahui kisah keperkasaannya atau keajaibannya itu. Ada juga yang sengaja datang untuk melihat dan memotret arsitekturnya maupun melakukan ibadah shalat dan lainnya.

Di depan gapura masjid ini, ada plang persegi empat berwarna putih dengan tulisan hitam berbahasa Indonesia, Arab, dan Inggris yang berbunyi “Perhatian: Anda memasuki kawasan wajib mengenakan busana muslim/muslimah”.

Yang juga menarik perhatian, di depan sebelah kiri masjid ini ada plang bercat biru bertuliskan Zona Bahaya Tsunami lengkap dengan gambar orang sedang berlari ke bukit menghindari riak tsunami. Di bawah gambarnya, ada tulisan putih dalam bahasa Aceh dan Indonesia yang berbunyi meunyoe geumpa rayeuk plung laju ke teumpat yang manyang, bek to laot yang artinya “jika terjadi gempa segera menjauhi pantai/lari ke tempat yang tinggi”.

Masjid perkasa kedua Masjid  Jabalur Rahmah di Situ Gintung, Cireundu, Tangerang Selatan, Banten. Masjid yang diresmikan oleh seorang berdarah Aceh H. Teuku Abdullah Laksama, 26 Mei 2007 ini masih berdiri kokoh meskipun deretan rumah di sekitarnya hanyut tersapu derasnya luapan air akibat tanggul Situ Gintung Jebol tahun lalu.

Pascajebolnya tanggul, masjid ini menjadi tontonan warga yang datang berduyun-duyun menyaksikan keperkasaannya. Meski bangunannya tidak begitu besar, namun selama penanggulangan bencana, masjid ini digunakan untuk menampung bahan bantuan dari para dermawan, berupa pakaian, obat-obatan, dan mie intsan.

Masjid ketiga pilihan siarmasjid adalah Masjid Shiraatul Jannah di Kabupaten Garut, tepatnya di Kampung/Desa Tarikolot, Kecamatan Cikelet.

Masjid yang dibangun oleh Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila (YAMP) pada Juli 1995 lalu itu mampu bertahan dari guncangan gempa yang melanda daerah itu beberapa waktu lalu. Padahal bangunan di sekitarnya seperti rumah penduduk dan kantor desa ada yang hancur dan retak-retak.

Selama penanggulangan pascagempa, masjid yang terawat bersih ini  menjadi  lokasi pengungsian. Di halaman masjid didirikan beberapa tenda untuk tempat teduh sementara sejumah pengungsi ketika itu.

Ketiga masjid itu perkasa itu kini masih berdiri setelah direnovasi. Mudah-mudahan cerita keperkasaan ketiga masjid di atas membuat kita semakin yakin akan kebesaran dan kekuasaanNya. Mungkin dengan berkunjung  dan shalat fardhu di salah satu masjid tersebut atau bahkan ketiganya, akan kian mempertebal keimanan kita.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (siarmasjid@gmail.com)

Sabtu, 16 Oktober 2010

Memuji Si-Putih Masjid Agung Al Azhar


Bangunannya tidak seluas masjid raya lain di Jakarta, tapi Masjid AL Azhar punya keeksotisan tersendiri dari arsitekturnya maupun warna cat dindingnya yang didominasi putih. Masjid ini pun menjadi saksi sejarah perkembangan Kota Jakarta.

Masjid Al Azhar mulai beridiri di atas  seluas 43.755 meter2 pada tanggal 19 November 1953 oleh  Yayasan Pendidikan Islam (YPI) yang beranggotakan 14 tokoh Masumi atas anjuran Mr Syamsudin, Menteri Soial RI saat itu.

Pembangunannya selesai tahun 1958 dan diresmikan dengan nama Masjid Agung Kebayoran. Pada era sekitar 1960-an, rektor Universitas Al Azhar Kairo, Mesir, Prof. Dr. Mahmud Shaltut memberikan ceramah terbuka di masjid ini. Dia sangat terkesan dengan kemegahan masjid ini ketika itu. Dia pun menyarankan untuk memberi nama mesjid ini menjadi Masjid Agung Al Azhar. Sejak itu nama masjid ini menjadi Masjid Agung Al Azhar.

Masjid ini kemudian dikukuhkan oleh Pemda DKI Jakarta sebagai salah satu dari 18 situs tapak sejarah perkembangan kota Jakarta.  Dan per tanggal 19 Agustus 1993 statusnya naik menjadi cagar budaya nasional.

Setiap hari, jamaah masjid ini tak pernah sepi. Selain pelajar, mahasiswa, juga para pekerja kantoran di sekitar kawasan tersebut yang kerap menggunakan masjid ini untuk shalat fardhu. Tak sedikit pengunjung yang datang untuk mengabadikan keindahan arsitekturnya yang bergaya Turki. Ada juga yang bilang bangunannya mirip Taj Mahal India.

Tips Perjalanan
Masjid Agung Al Azhar berada di kompleks sekolah Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.  Dalam komplek masjid ini juga ada sebuah Universitas Al Azhar Indonesia.  Lokasinya sangat strategis. Persis di belakang halte bus Transjakarta busaway, koridor I rute Blok M - Kota. 

Di jalan raya belakang masjid, berseberangan dengan gedung Kementerian Pekerjaan Umum banyak terdapat pedagang aneka kuliner yang sudah familiar dikalangan pecinta kuliner di Jakarta, antara lain Roti Bakar Edi.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (siarmasjid@gmail.com)

Rabu, 06 Oktober 2010

Masjid Cipari, Arsitekturnya Membawa Berkah


Tak salah bila pertama kali melihatnya, banyak orang yang mengira bangunan ini gereja buatan Belanda. Padahal bukan. Bangunan ini sejak awal berdiri hingga kini tetap berfungsi sebagai masjid. Bangunan yang semula bernama Masjid Assyuro ini, kini lebih dikenal dengan nama Masjid Cipari sesuai letaknya di Kampung Kampung Cipari, Desa Sukarasa, Kecamatan Pangatikan, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Dibilang mirip gereja, karena arsitekturnya bergaya art deco, yang memanjang dari Barat ke Timur dengan menara setinggi 20 meter di sisi Timur. Menara tersebut menyatu dengan pintu utama masjid ini. Keberadaan menara pada muka bangunan ini dapat ditemui di beberapa bagunan gereja.

Dari samping, bangunannya  mirip sekolah atau perkantoran zaman kolonial Belanda. Pintu lainnya ada di sisi Utara dan Selatan. Ukauran pintu dan jendela lebar sehingga jamaah yang shalat di dalam bisa terlihat dari luar.

Setelah masuk ke dalam, baru jelas bahwa bangunan ini masjid, dengan adanya mihrab menempel di dinding arah kiblat. Namun secara keseluruhan, ruangan di dalamnya lebih mirip ruang kelas besar.


Sesepuh Pesantren Cipari, Salaf Soleh, menegaskan bahwa bangunan ini sejak awal dibangun  pada 1935 atas inisiatif K.H. Yusuf Tauzirie, pengasuh pondok pesantren Cipari, berfungsi sebagai masjid. “Arsitekturnya R.M. Abikusno Tjokrosuyoso, keponakan H.O.S Tjokroaminoto. Peresmiannya dilakukan H.O.S Tjokroaminoto pada 1936, dan kerap dipakai untuk pertemuan tokoh Syarikat Islam dan tokoh nasionalis PNI, pada masa pergerakan nasional,” jelasnya.

Sewaktu masjid ini jadi, lanjut Soleh, masyarakat sempat kaget dengan bentuknya yang tidak seperti masjid pada umumnya. Tapi justru dengan bentuknya itu berhasil menyelamatkan warga Cipari yang diserang oleh gerombolan DI/TII yang dipimpin S.M Kartosoewirjo yang ingin mendirikan Negara Islam. “Warga Cipari yang dipimpin  K.H. Yusuf Tauzirie berhasil menyerang balik kawanan pemberontak yang dulu bekas sahabat seperguruannya itu dari atas menara dengan melemparkan mortil meski dihujani tembakan. Bentuk masjid itu membawa berkah,” terangnya seraya menjelaskan bahwa bekas tembakan para pemberontak dulu itu membekas di atap menara majid berupa lubang-lubang timah panas.

Tips Perjalanan
Meski agak jauh dari Kota Garut. Tapi Masjid Cipari mudah dijangkau. Bila dari arah Kota Garut, masjid ini berada di bagian Timur. Dari Terminal bus Garut naik angkot 07 warna merah putih jurusan Sukawening, melewati Pasar Wanareja terus turun di Jalan Cipari. Ongkosnya kalau siang Rp 4.000.  Kalau malam bisa diminta lebih oleh supirnya sekitar Rp 6.000 per orang. Dari Jalan Cipari naik ojek sepeda motor Rp 2.500 per orang.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (siarmasjid@gmail.com)

Kamis, 30 September 2010

Al-Qur’an Kayu di Masjid Agung Sumedang


Saat berwisata ke Kota Sumedang, Jawa Barat, jangan cuma memborong tahu pong-nya yang tersohor dan memang nikmat. Sempatkan pula ke Masjid Agungnya yang bersejarah untuk shalat fardu berjamaah. Di masjid ini terdapat  Al-Qur’an berukuran besar dari kayu.

Kitab suci Al-Qur'an kayu di masjid yang berdiri megah di pusat Kota Tahu ini, ditempatkan di depan masjid. Keberadaannya menarik perhatian sejumlah jamaah yang baru kali pertama bertandang.

Masjid   yang pernah menjadi pusat penyebaran Islam di Sumedang dan sekitarnya ini semula berada Kampung Sukaraja yang dibangun  tahun 1781-1828, pada masa pemerintahan Bupati Sumedang Pangeran Korner.

Ketika masa pemerintahan Pangeran Soeria Koesoemah Adinata yang bergelar Pangeran Sugih pada tahun 1836-1882 M, masjid ini dipindahkan ke lokasinya yang sekarang di atas tanah wakaf dari R. Dewi Siti Aisyah seluas 6.755 meter persegi.

Banyak jamaah yang mengabadikan diri di samping Al-Qur'an kayu di masjid yang sudah mengalami beberpa pemugaran hingga bentuknya seperti sekarang ini.

Pembangunan masjid di lokasi barunya sekarang di mulai tanggal 3 juni 1850 M dan diselesaikan tahun 1854 M dengan Imam pertama Penghulu R.H. Muhammad Apandi.

Restorasi masjid  ini pertama kali dilakukan pada tahun 1913 M oleh oleh Pangeran Aria Soeriaatmadja yang bergelar Pangeran Mekah. Selanjutnya tahun 1962, 1982 dan terakhir pada tahun 2002 seperti terlihat sekarang dengan memakan biaya mencapai Rp 4,2 milliar. Peresmiannya dilakukan Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan pada 22 April 2004.

Arsitektur masjid ini bergaya Cina dengan jumlah tiang seluruhnya 166 buah, 20 buah jendela berukuran tinggi 4 meter dan lebar 1,5 meter. Di bagian depan terdapat ukiran kayu jati sebagai ornamen. Menara azan utamanya berbentuk Limas yang disebut mamale dengan tinggi 35,5 meter.


Selain Al-Qur’an kayu, di masjid ini terdapat 3 buah beduk berukuran panjang 3 meter dan diameter 0,6 meter serta mimbar juga dari kayu jati bertiang 4 yang berumur ratusan tahun.

Tips perjalanan
Mudah sekali mencapai Masjid Agung Sumedang. Lokasi tepatnya di Alun-Alun Kota Sumedang. Dari Terminal bus antarkota Sumedang, Anda tinggal naik angkot yang melewati alun-alun  dengan ongkos Rp 3.000 per orang.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (siarmasjid@gmail.com)

Paduan Tiga Budaya Masjid Agung Palembang


Tak banyak masjid yang arsitekturnya memadukan budaya dari 3 bangsa. Satu di antara yang sedikit itu adalah Masjid Agung Palembang, Sumatera Selatan.  Bangunan salah satu warisan Kesultanan Palembang ini dipengaruhi budaya Indonesia, Cina, dan  Eropa.

Arsitektur Cina terlihat dari atapnya yang seperti kelenteng. Begitu pun dengan atap  menaranya yang dibiarkan tetap seperti aslinya bergaya Cina, berujung melengkung. Bentuk arsitektur Eropa nampak pada pintu masuknya yang besar dan tinggi. Termasuk penambahan teras berpagar yang mengelilingi bagian badan menaranya. Sedangkan gaya Indonesianya setelah mengalami renovasi beberapakali hingga bentuknya menjadi modern seperti saat ini.

Masjid yang didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I atau Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikramo mulai tahun 1738 sampai 1748 ini pernah berpredikat sebagai masjid terbesar di Indonesia selama beberapa tahun. Ukuran bangunan mesjid waktu pertama dibangun semula seluas 1080 meter persegi dengan daya tampung 1.200 jemaah. Peresmian pemakaian masjid yang pada awalnya tidak bermenara sebagaimana masjid-masjd tua di Nusantara ini dilakukan pada tanggal 28 Jumadil Awal 1151 H (26 Mei 1748).

Setelah mengalami renovasi beberapakali, luas masjid yang berada di pusat bekas  Kerajaan Sriwijaya ini bertambah menjadi 5.520 meter persegi dengan daya tampung 7.750 jamaah. Berikut penambahan menaranya di sebelah Barat.

Dan pascarenovasi tahun 2000-2003,  status masjid berlantai dua ini berubah menjadi masjid modern raksasa se-Sumatera Selatan yang peresmiannya dilakukan Megawati Soekarnoputri ketika menjabat sebagai presiden.

Tips Perjalanan
Masjid Agung Palembang sangat mudah dijangkau. Lokasinya sangat strategis  di Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, tepat di pertemuan antara Jalan Merdeka dan Jalan Sudirman, pusat Kota Palembang. Berada dekat dengan Jembatan Ampera. Kedua banguan bersejarah ini menjadi land mark Kota Pempek hingga sekarang. Dari Bandara Sultan Badaruddin, Anda bisa naik taksi atau mencarter mobil travel.

Naskah: Adji Kurniawan (siarmasjid@gmail.com)
Foto: Sapta Riyadi

Rabu, 22 September 2010

Masjid Raya Syekh Burhanuddin untuk Evakuasi Tsunami


Kalau Anda datang ke Padangpariaman, Sumatera Barat, jangan lupa singgah dan shalat di Masjid Raya Syekh Burhanuddin yang lokasi tepatnya di Tanjung Medan Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis. Selain didesain sebagai tempat ibadah, masjid ini pun dipersiapkan sebagai tempat evakuasai korban tsunami.

Setelah direnovasi, masjid bersejarah peninggalan Syekh Burhanuddin ini tampak semakin indah yang juga berfungsi sebagai pusat mendidikan Islam dan wisata religius.

Arsitektur asli masjid berukuran 22 x 20 meter persegi ini tetap dipertahankan. Ada sentuhan ukiran Pandai Sikek dan fasilitas batu granit lainnya,  bagian lotengnya dilengkapi dengan lambesering, dan dua menara pendukung yang menambah keanggunannya.

Selain didesain sebagai tempat beribadah, masjid ini juga disiapakan sebagai tempat evakuasi bila terjadi tsunami. Kapasitas masjid ini mampu menampung 3.000 jamaah.

Masjid ini pun akan dilengkapi dengan teropong bintang dengan tujuan agar masyarakat Padang Pariaman khususnya dan SumBar bisa serentak melaksanakan ibadah puasa, shalat idul fitri, dan shalat idul adha.

Sekitar 6 Km dari masjid ini terdapat makam pendiri masjid yakni Syekh Burhanuddin yang kerap dikunjungi peziarah. Syekh Burhanudidn merupakan ulama besar Minang yang berjasa menyebarkan Islam di Minangkabau pada abad ke-17. Selain berpengetahuan luas tentang Islam, ulama besar ini diyakini pula berkekuatan supranatural. Arsitektur makamnya  sangat kental Minang-nya dengan ciri atap gonjong (runcing) di bagian atapnya. Uniknya ada sentuhan arsitektur Jepangnya di bagian atap bangunan berupa atap tumpang persegi berpadu atap gonjong.

Tips Perjalanan
Tak sulit menjangkau Masjid Raya Syekh Burhanuddin. Dari terminal bus Kota Padang maupun Bandara Internasional Minangkabau (BIM), Anda tinggal naik taksi atau mobil travel. Pilihan lain naik bus umum namun beberapa kali ganti kendaraan.

Naskah: Irwin Fedriansyah & Adji Kurniawan (siarmasjid@gmail.com)
Foto: Irwin Fedriansyah

Masjid Penyengat dari Campuran Telur


Saat bertandang ke Tanjung Pinang atau pun Batam untuk urusan niaga, wisata dan lainnya, sempatkan mampir ke Pulau Penyengat untuk shalat di Masjid Raya Sultan Riau atau yang biasa disebut Masjid Pulau Penyengat. Keunikan masjid berwarna dominan kuning ini bahan konstruksinya terbuat dari campuran putih telur sebagai perekat sehingga dikenal juga dengan nama Masjid Putih Telur.

Arsitektur masjid yang beridiri tahun  1932 semasa Yang dipertuan Raja Jaafar (1806-1882) ini  bergaya India. Konon arsiteknya seorang keturunan India yang bermukim di Singapura,  tak jauh dari Pulau Penyengat. Tukang bangunannya juga banyak orang India dari negeri mungil itu.

Penduduk setempat membantu pembangunan masjid termasuk memberikan makan pada para tukang. Ketika itu telur ayam melimpah disana lalu dimanfaatkan sebagai campuran perekat untuk konstruksi masjid.

Warna kuning begitu dominan. Warna keemasan ini dalam tradisi Melayu biasanya dipakai untuk segala sesuatu berkaitan dengan kerajaan atau kesultanan. Maklum, masjid memang merupakan  peninggalan Kerajaan Riau-Lingga. Bukti sejarah lainnya berupa bekas istana dan makam yang masih dirawat penduduk setempat.

Kendati ukuran masjidnya tidak terlalu besar, namun memiliki 13 kubah dan 4 minaret bergaya Turki dengan atap bersisi delapan yang sangat runcing seperti pensil. Jumlah kubah dan minaretnya menjadi 17 yang melambangkan jumlah rakaat sholat fardhu.

Di halaman masjid yang berhias minimalis ini terdapat sotoh, di sebelah kiri dan kanan. Sotoh atau bangunan kembar ini dulu digunakan sebagai tempat bermusyawarah majelis ta'lim diantara ulama dan cendikiawan di sebelah kiri dan kanan.

Tips Perjalanan
Masjid Pulau Penyengat terletak sekitar 2 Km seberang Tanjung Pinang, ibukota  Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Dari daratan Tanjung Pinang, Anda tinggal naik perahu kecil yang disebut pompong ke pulau ini sekitar 15 menit. Kalau dari Batam, naik kapal penyeberangan feri menuju Tanjung Pinang sekitar  satu jam dilanjutkan dengan naik pompong.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (siarmasjid@gmail.com)

Senin, 20 September 2010

Masjid Tan Kok Liong Gaya Klenteng



Bangunan khas Tiongkok ini bukanlah klenteng atau vihara. Bangunan  yang didominasi warna merah ini adalah Masjid Jami Tan Kok Liong, bagian dari kompleks Pondok Pesantren (Ponpes) Terpadu At-Taibin yang didirikan Anton Medan, mantan napi yang kemudian sukses menjadi da’i dan pengusaha.

Siapapun yang pertama melihat bangunan yang berada di Jalan Raya Kampung Sawah RT02/RW08, Kampung Bulak Rata, Kelurahan Pondok Rajeg, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor ini mengira klenteng. Bagaimana tidak? Bangunan berlantai tiga ini memang lebih menyerupai kelenteng ketimbang masjid.

Lantai dasarnya digunakan untuk kantor, lantai satu dan dua untuk shalat. Kubah masjidnya berukuran kecil  berada di atap depan lantai dasar. Berbeda dengan masjid pada umumnya yang berkubah besar dan berada di puncak atap utama.

Cat dindingnya berwarna merah muda, sedangkan pilarnya didominasi merah marun, ada juga dua pilar yang berwarna emas. Sementara atapnya berwarna hijau. Ornamen naga khas arsitektur Tiongkok, menghiasi semua sudut atapnya yang berjenjang tiga.

Papan nama yang bertuliskan “Masjid Jami Tan Kok Liong” bergaya tulisan Tiongkok sedangkan lafaz Allah ada di pucuk atapnya. Secara keseluruhan, arsitektur masjid ini menyiratkan siapa pendirinya  yang berupaya melestarikan budaya asal tanah leluhurnya.

Untuk membangun masjid berbiaya sekitar Rp 2 milyar ini, Anton berburu VCD bentuk-bentuk istana di Cina ke Pluit. Dari berbagai bentuk itu akhirnya terseleksi tiga buah istana: Istana Dinasti Ching, Ming, dan Hang.  Pilihannnya jatuh pada istana Dinasti Ching. “Soalnya mirip dengan arsitektur masjid di Indonesia,” jelas Anton.

Tips Perjalanan
Tak sulit menjangkau masjid ini. Anda bisa naik bus atau kendaraan priadi. Kalau naik bus ambil jurusan ke Terminal Cibinong, dilanjutkan naik angkot jurusan Pondok Rajeg, turun di Bulak Rata. Lalu dilanjutkan dengan naik ojek sepeda motor ke Kampung Sawah.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (siarmasjid@gmail.com)

Kamis, 16 September 2010

Masjid Agung Banten Bermenara Gaya Eropa



Kalau ke Banten, jangan lupa singgah dan shalat di Masjid Agung Banten yang merupakan bekas peninggalan era Baten Lama. Selain masjid, di sekitarnya juga banyak terdapat peninggalan bersejarah seperti Keraton Surosowan dan lainnya. Keunikan masjid ini terletak pada menaranya yang bergaya Eropa.

Masjid berusia lebih dari 5 abad ini berasitektur sebagaimana masjid di Jawa. Yang membedakannya atapnya. Kalau atap masjid ini bertumpuk lima, sementara di Jawa hanya bertumpuk tiga. Menurut sejumlah ahli arsitektur, dikarenakan ada  pengarauh arsitektur cina, pasalnya salah satu arsitektur masjid ini adalah Tjek Ban Tjut (Pangeran Adiguna). Lima tumpuk atap masjid ini menyimbolkan 5 Rukun Islam.

Sementara pintu masuk masjid di sisi depan berjumlah enam yang berarti Rukun Iman. Enam pintu tersebut dibuat pendek dengan maksud pengunjung merendahkan diri saat masuk ke Rumah Allah SWT.

Yang menjadi keunikan utama masjid ini terletak pada menaranya. Tingginya sekitar 30 meter dengan diameter lebih kurang 10 meter.  Menara beranak tangga 83 buah ini dirancang oleh Hendick Lucasz Cardeel, arsitektur eropa  yang masuk Islam dan menikah dengan putri sultan. Alhasil gaya bangunannya keeropa-eropaan, terlihat dengan adanya pavilion di sisi selatan masjid yang berguna untuk kegiatan kajian keagamaan.

Di depan masjid, selain menara juga ada empat kolam yang dulunya untuk membersihkan diri sebelum memasuki masjid.    Di sebelah selatan terdapat makam para sultan dan museum yang mengoleksi sejumlah benda dan senjata kuno Kesultanan Banten.

Tips Perjalaanan
Tak sulit menjangkau Masjid Agung Banten ini. Dari Kota Serang, ada bisa menyewa mobil travel atau  mencarter angkutan umum sejenis angkot. Sebaiknya datang di luar hari-hari besar Islam, karena dipastikan pengunjungya ramai. 

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (siarmasjid@gmail.com)

Masjid Istiqlal Megah & Bersejarah

Kalau Anda ke Jakarta, selain Monas, rasanya kurang lengkap kalau belum berkunjung dan shalat di Masjid Istiqlal. Masjid terbesar di Asia Tenggara ini selain megah juga bernilai sejarah. Pasalnya pembangunannya diprakarsai oleh Presiden Republik Indonesia pertama Ir Sukarno dengan arsiteknya Frederich Silaban.  Pemancangan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan masjid ini dilakukan sendiri oleh Ir. Soekarno pada tanggal 24 Agustus 1951.

Bangunan utama masjid ini terdiri dari lima lantai, hampir semua lantai dan dindingnya berlapis marmer. Kubahnya besar, berdiameter 45 meter. Ruangannya besar mampu menampung orang hingga lebih dari dua ratus ribu jamaah.

Aktivitas di masjid ini padat. Selain sebagai tempat  ibadah umat Islam seperti shalat 5 waktu, shalat jumat, juga menjadi tempat perayaan hari-hari besar Islam seperti malam Nuzulul Qur’an bulan Ramadhan, Shalat Idul Fitri,  Shalat Idul Adha, dan peringatan Maulid Nabi Muhammad  yang biasanya di presiden Republik Indonesia  dan disiarkan secara langsung televisi. Masjid ini juga dijadikan sebagai kantor MUI atau Majelis Ulama Indonesia serta bermacam kegiatan sosial dan pendidikan.

Selain utamanya sebagai tempat ibadah, masjid ini juga menjadi daya tarik wisata ternama di Jakarta. Setiap hari terlebih dari hari liburan dipastikan ada rombongan  pengunjung dengan bus-bus wisata dari berbagai kota dan daerah ke masjid ini. Wisatawan mancanegara juga kerap terlihat.

Tips Perjalanan
Lokasi masjid ini sangat strategis, di Jakarta pusat. Tepatnya di Timur Laut lapangan Monas atau Monumen Nasional. Berdekatan dengan Stasiuan Juanda, Lapangan Banteng, Gereja Katherdal, dan Stasiun Gambir. Mudah menjangkaunya dengan kendaraan umum baik bus transjakarta busway, bus kota maupun taksi.

Kalau Anda datang dari luar Jakarta dengan pesawat, dari Bandara Soekarno-Hatta tinggal naik bus Damri Jurusan Gambir. Selama berkunjung, Anda diharuskan berpakaian santun. Bagi perempuan selain mengenakan pakaian tertutup, santun, dan rapih juga menganakan kerudung dan bagi lelaki memakai celana panjang atau sarung (bukan celana pendek dan kaos singlet/tank top).

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (siarmasjid@gmail.com)

Rabu, 15 September 2010

Masjid Indrapuri Aceh Besar Bekas Benteng


Masjid Indrapuri berada di Desa Pekuan Indrapuri, Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar. Masjid ini berdiri diatas benteng yang diperkirakan bekas peninggalan agama Hindu.

Menurut Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan BP3 Aceh, Dahlia, masjid berkonstruksi kayu ini didirikan di atas reruntuhan bangunan benteng yang diperkirakan bekas peninggalan Hindu yang pernah dimanfaatkan sebagai benteng pertahanan di masa pendudukan Portugis dan Belanda. “Setelah Islam masuk dan berkembang pesat di Aceh, benteng yang semua tempat peribadatan Hindu, dindingnya dihancurkan dan digantikan dengan masjid. Begitu juga dengan ornamen asli penghias bangunan dalam, ditutup plester mengingat ajaran Islam melarang adanya penggambaran makhluk bernyawa,” jelas Dahlia.

Masjid yang dibangun tahun 1270 Hijriah atau akhir tahun 1853 ini miskin arsitektur. Bentuk atapnya limas tumpang tiga seperti masjid-masjid tradisional di Jawa. Kekuatan masjid ini justru berada di atas benteng yang kokoh. Sayangnya kondisi masjid ini kurang terawat. Kolam persegi empat yang berada di depan bangunan utama masjid, kering dan terisi bermacam sampah.

Menurut Bupati Aceh Besar, H. Bukhari Daud, bentuk bangunan Masjid Indrapuri merupakan asli dari masjid-masjid tradisional yang di Indonesia. Bahkan Masjid Demak di Jawa mengambil contoh arsitektur masjid ini. “Sayangnya banyak masyarakat Aceh yang belum tahu bahwa inilah bentuk asli tradisional masjid kita yang seharusnya dipertahankan. Mereka justru lebih tertarik dengan arsitektur masjid gaya Turki yang akhirnya mendominasi arsitektur masjid di Aceh sekarang ini,” jelasnya.

Tips Perjalanan
Tak sulit menjangkau Masjid Indrapuri. Dari Banda Aceh, Anda bisa menyewa mobil travel menuju masjid yang atapnya berseng hijau.

Langgar Gayam Atap Rumbai di Pamekasan



Langgar Gayam  di  Desa/Kecamatan Proppo, Kabupaten Pamekasan, Madura  berdiri di areal yang dulu diyakini sebagai Situs Kerajaan Jambaringin pada masa Pangeran Pradoto yang bergelar Pangeran Suhra.

Ada juga yang mengatakan Langgar Gayam peninggalan dari Bujuk Gayam yang dibangun tahun 1680. Dia berjasa menyebarkan agama Islam di daerah ini oleh karena itu masyarakat setempat sangat menghormatinya. Makamnya terletak di pinggir desa dengan bentuk nisan yang sederhana, tidak berornamen rumit seperti makam keluarga raja dan para bangsawan Madura.

Arsitektur Langgar Gayam sangat sedaerhana. Seluruh pondasinya terbuat dari kayu, atapnya rumbia, dindingnya dari bilik. Lantainya berjarak sekitar 50 Cm dari atas tanah dan berdiri dengan ditopang beberapa tiang kayu yang belum diganti sampai kini. Ada pengeras suara atau speaker yang digantung dengan sebatang bambu di belakang langgar untuk pengeras suara azan. Menurut Kiai  Moh. Sahid, pewaris Langgar Gayam sekaligus juru pelihara, ada cerita menarik dari langgar ini. “Ketika atapnya diganti dengan genting tanah liat, seketika genting-genting itu melorot (jatuh) sendiri. Oleh karena itu sampai sekarang tetap memakai atap rumbia,” jelasnya.

Menurut Miftahussurur Fatah SE, putra Sahid yang kadang menjadi muazin dan imam di langgar tersebut, hingga saat ini Langgar Gayam masih digunakan untuk shalat wajib berjamaah, termasuk shalat sunat taraweh. “Meski berukuran kecil, langgar ini mampu menampung 40 jemaah. Sisanya menempati halaman di depan langgar,” ujarnya,

Kurang dari 100 meter dari langgar ini terdapat Sumur Teratai. Dinamakan begitu karena dinding sumur bagian alam berbentuk lekuk-lekuk yang pabila dilihat dari atas nampak seperti bunga teratai. Dulu sumur ini menjadi tepat berwudhu bagi jemaah yang akan bersembahyang di Langgar Gayam. Kini, air sumur yang diyakini  masyarakat setempat dapat menyembuhkan bermacam penyakit dan juga bikin awet muda itu, masih digunakan untuk air wudhu dan keperluan sehari-hari.

Tips Perjalanan
Madura kini mudah ditempuh dari Surabaya, karena sudah terhubung dengan Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura). Kalau Anda dari Jakarta bisa naik kereta, bus atau pesawat ke Surabaya lalu dengan bus ke Madura. Dari Madura Anda bisa menyewa mobil travel ke Langgar Gayam ini.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (siarmasjid@gmail.com)

Baiturrahman Kian Tersohor Pascatsunami


Masjid Baiturrahman di Banda Aceh tetap menjadi ikon pariwisata Banda Aceh bahkan Prov. NAD meski bermunculan obyek wisata baru pascatsunami. Hingga ada anggapan, kalau belum ke masjid yang dibangun tahun 1292 atau abad ke 13 ini saat ke Aceh, belumlah sempurna.

Bangunan fisik masjid raya ini kini semakin baik pasca diterjang tsunami. Pengunjungnya pun tetap ramai, baik jamaah yang ingin shalat maupun wisatawan lokal yang berwisata atau melakukan pengambilan foto prewedding. Wisatawan dari luar Aceh dan beberapa pasang turis asing juga terlihat. Umumnya wisatawan yang datang ingin menikmati arsitektur Eropa, Turki dengan sentuhan Islam dan tradisional masjid ini, dan tak lupa foto diri berlatar belakang masjid indah ini.

Menurut Ketua Masyarakat Sejarahwan Indonesia (MSI) Aceh, Prof. Misri A. Muchsin, meski penampilan fisik Masjid Baiturrahman pascatusnami sudah kembali bagus, namun untuk kembali menjaring wisatawan, masjid ini perlu melakukan peningkatkan pelayanan. “Pengurus ataupun penjaga masjid harus bersikap lebih ramah agar pengunjung merasa betah dan nyaman. Di samping itu pemandu wisata yang mahir berbahasa Inggris dan asing lainnya harus diperbanyak,” jelasnya.

Kendati bermunculan obyek wisata baru pascatsunami, bagi masyarakat Aceh keberadaan Masjid Raya Baiturrahman tetaplah penting. Bukan semata sebagai simbol kebanggaan semata melainkan pula menjadi sandaran hidup bagi sebagian kecil warganya. Salah satunya buat Zulkisar, salah serorang khadam (petugas kebersihan) di Masjid Baiturrahman yang berjumlah 22 orang.

Menurut Zulkisar yang sudah bekerja sebagai khadam sejak tahun 1969, penghasilannya sebagai khadam membantu menopang hidup keluarga barunya. “Saya bekerja setengah hari dari pukul 8 pagi sampai 12 siang atau mulai pukul 1 siang hingga 4 sore, sebelum atau setelah itu melaut di Pantai Ulee Lheue,” kata Zulkisar sambil membersihkan ornamen tembaga di salah satu pilar dalam masjid dengan cairan kimia racikan sendiri.

Kelam malam berangsur menyelimuti langit di atas Masjid Raya Baiturrahman. Namun pesona keindahan masjid raya ini tak lantas memudar. Lampu-lampu masjid dan bayangan bangunan yang terpantul di air kolam di depan masjid, justru menghadirkan pesona tersendiri. Tak berlebihan di kala malam merayap, masih banyak pengunjung yang datang untuk menikmati dan mengabadikan keindahannya.

Tips Perjalanan
Dari Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng naik pesawat ke Bandara Sultan Iskandar Mudah, Banda Aceh. Dilanjutkan naik taksi ke Masjid Baiturrahman. Anda bisa mengunjungi semua obyek baru pascatsuami di Banda Aceh dalam satu atau dua hari saja. Sebab, lokasinya mudah dijangkau dan berdekatan. Anda bisa menyewa mobil travel, taksi, labi-labi (angkot) atau kalau ingin irit ongkos pilih saja becak motor yang sudah lama menjadi kendaraan spesial warga Banda Aceh.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (siarmasjid@gmail.com)

Selasa, 14 September 2010

Kecanduan I’tikaf di Masjid Kubah Mas

Beruntung bila bisa ber-i’tikaf di 3 (tiga) masjid utama yakni Masjid al-Haram, Nabawi, dan Masjid al-Aqsha. Tapi bila belum mampu, cukuplah di masjid berdaya pikat khusus yang ada di negeri ini seperti di Masjid Kubah Mas, Cinere Depok. Beri’tikaf di masjid yang kubahnya berlapis emas ini ternyata punya keistimewaan tersendiri hingga banyak jamaah yang kecanduan. Apa gerangan penyebabnya?

Di antara jutaan manusia yang tengah sibuk menyiapkan lebaran termasuk mudik ke kampung atau kota halaman, ternyata masih banyak orang yang melakukan i’tikaf atau berdiam diri di masjid di sepuluh terakhir Ramadhan seperti yang penulis amati di Masjid Kubah Mas, Cinere, Depok beberapa hari lalu.

Dari puluhan jamaahnya yang beri’tikaf di sana, ada beberapa yang sudah berkali-kali melakukannya. Mereka seolah kecanduan ‘mengasingkan’ diri untuk lebih mendekatkan diri padaNya dengan memperbanyak amalan Ramadhan seperti membaca Alqur’an dan shalat sunat.

Munasih (66), mantan kepala Rumah Tangga Direktorat Purbakala yang pensiun 2001 lalu ini misalnya sudah 3 kali beri’tikaf di masjid ini sejak 2008, setelah sebelumnya berkelana i’tikaf di beberapa masjid di Jakarta.

Keindahan dan ketenangan masjid yang hampir keseluruhan lantai dan dindingnya dari marmer pilihan ini ini membuatnya jatuh hati beri’tikaf di sini. Bahkan ayah 3 anak dan 2 cucu ini beri’tikaf sebulan penuh Ramadhan tahun ini.

Dua kali Ramadhan sebelumnya dia pergi pulang dari rumahnya di Rawa Belong Jakarta Barat ke masjid ini. Dia mengaku lelah karena beberapa kali ganti kendaraan umum dan kerap terjebak macet. Tahun ini, kakek asli Jogja ini memilih kos di dekat masjid Kubah Mas selama sebulan Rp 900.000 agar bisa lebih khusuk beribadah. Tapi khusus sepuluh hari terakhir Ramadhan, pria yang naik haji tahun 1998 lalu ini menginap di masjid ini untuk beri’tikaf.

Menurut pria yang mengenal menantu pemilik masjid ini, dia menemukan sesuatu yang istimewa hingga membuatnya ketagihan beri’fitkaf di sini. Selain lebih khusus beribadah dan menikmati keindahan masjid ini, dia mengaku bisa khatam (tamat) Alqur’an beberapa kali. “Shalat teraweh di masjid ini setiap malam imannya membaca 1 juz. Jadi kalau 30 malam bisa khatam Alqur’an. Belum lagi saya mengaji sendiri bisa khatam 5 kali karena lebih tenang dibanding di rumah,” jelasnya.

Konsisten
Kecanduan beri’tikaf justru lebih dulu dirasakan Kodir (62), pensiunan BUMN Krakatau Steel, Cilegon tahun 2005 ini. Ayah 3 anak 5 cucu ini sudah 4 kali beri’tikaf di masjid ini sejak tahun 2007. Kakek asli Cirebon yang berdomisili di Depok ini sebelumnya pernah beri’tikaf di sejumlah masjid ternama di Jakarta seperti Masjid Istiqlal, Pondok Indah, dan Masjid Al-Azhar.

Tapi setelah beri’tikaf di Masjid Kubah Mas ini dia mengaku langsung suka dan bahkan kecanduan. Menurutnya imam di masjid ini konsisten menunaikan shalat taraweh 23 rakaat. Tidak seperti di beberapa masjid lain yang pernah didatanginya yang menerapkan 1 kapal 2 nahkoda artinya imamnya menunaikan shalat teraweh 11 rakaat dan teruskan 23 rakaat bagi jamaah yang ingin.

Menurut pria yang juga pergi haji saat Indonesia dilanda krisis moneter (krismon) tahun 1998 lalu ini, i’tikaf itu bukan pelarian dari masalah tapi dilakukan dengan tulus Lillahi Ta’ala. “Ini sudah waktunya buat saya lebih mendekatkan diri padaNya. Biar ballance dunia dan alherat,” jelasnya.

Lain lagi dengan Ahmad (50) jamaah dari Bekasi yang juga sudah beberapa kali i’tikaf di masjid ini. Dia mengaku jauh-jauh hari untuk beri’tikaf di sini dengan restu keluarga. Menurutnya yang terpenting segala urusan dan tanggungjawabnya sebagai suami dan ayah sudah dipenuhi sebelumnya. “Saya sudah mendapat izin dan dukungan dari istri untuk beri’tikaf disini hingga lebih tenang,” jelasnya.

Sore jelang magrib bukan cuma Munasih, Kodir, dan Ahmad saja. Masih ada puluhan jamaah lain yang sedang beri’tikaf di masjid indah ini. Ketika waktu magrib tiba, seluruh jamaah yang beri’tikaf termasuk pengunjung masjid lain, berbuka puasa bersama dengan ta’jil segelas kolak pisang, teh manis, dan segelas air mineral yang di sediakan oleh sejumlah petugas di lorong-lorong terbuka masjid. Kelompok jamaah pria dipisahkan dengan jamaah perempuan.

Setelah itu mereka segera berwudhu untuk shalat magrib berjamaah. Baru kemudian makan dengan menu lengkap di warung yang ada di dalam masjid ini atau menu yang dibawakan oleh anggota keluarga masing-masing. Selepas itu mereka kembali berwudhu untuk shalat isya dilanjutkan shalat taraweh berjamaah 23 rakaat. Usai berjamaah mereka masing-masing melakukan i’tikaf mengaji hingga larut. Keesokan harinya setelah sahur dan shalat subuh berjamaah, mereka melakukan i’tikaf lagi meneruskan membaca ayat-ayat cinta, Alqur’an.

Melihat kenikmatan dan keistimewaan yang dirasakan Munasih, Kodir, dan Ahmad serta jamaah lain yang ber’itikaf di masjid yang kerap dikunjungi wisatawan nusantara dan mancanegara ini, menggugah penulis melakukan hal senada di Ramadhan berikutnya. Mudah-mudahan Anda pun tergugah dan punya keinginan serupa.


Naskah & Foto: Adji Kurniawan(siarmasjid@gmail.com)